Senin, 28 November 2011

Menilai Kebun Sawit dengan Benar (3/3)

Keuntungan hutan yang dilestarikan tiga kali lahan sawit

Dalam skema penghitungan karbon sesuai REDD+, tiap hektare hutan "bernilai" hingga 22.090 dolar Amerika Serikat. Kesepakatan dalam mekanisme REDD+, satu hektare hutan mengandung harga karbon antara 7.420 dan 22.090 dolar Amerika Serikat.

Dalam Konvensi Iklim PBB, pemerintahan negara-negara di dunia telah menegosiasikan mekanisme pembayaran REDD+ dengan kegiatan tambahan bagi hutan yang didedikasikan mengurangi laju deforestasi pada 2020 hingga separuh dari yang berjadi saat ini.

UNEP memperkirakan pada saat ini, hampir 18 persen dari efek gas rumah kaca dunia setara dengan 6 giga ton dari karbondioksida. Penyumbang terbesar adalah penggundulan hutan dan lahan (deforestasi), pembakaran sumber energi, dan sektor transportasi.

Terkait dengan pendapatan dari sawit, memang menghitung keuntungan ekonomi dari kelapa sawit dengan rumus dan teori apapun dalam konteks pencadangan sumberdaya alam, tetap akan memperlihatkan nilai kerugian yang lebih besar. Belum ada contoh nyata di Indonesia bahwa orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan sawit itu hidup makmur. Yang terjadi justru dililit utang bank sampai masa akhir HGU perkebunan sawit. Kerugian secara ekonomis pada alam juga menunjukkan bahwa rehabilitasi kehancuran alam secara alami tidak masuk dalam mekanisme pasar perdagangan CPO. Ini menandakan bahwa, cadangan sumberdaya alam yang mampu disediakan oleh alam, tidak akan pernah mampu untuk memenuhi kebutuhan pasar, jika tidak dikelola secara arif dan bijak. Kemampuan produksi alam, tetap tidak akan pernah berjalan sesuai dengan tuntutan pasar. Tetapi tuntutan pasarlah yang akan menggiring perluasan eksplotasi sumberdaya alam sampai pada tingkat tertinggi, bahwa kerusakan alam menjadi catatan tersendiri selain kehilangan hak-hak dasar pemilik tanah adat sebelum dikuasakan secara paksa kepada perusahaan melalui campur tangan pemerintah, serta kemiskinan yang tidak termaafkan pula oleh pihak bank pemberi pinjaman modal usaha perkebunan sawit.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kaum environmentalisme, menghendaki penggunaan biofuel (minyak nabati) untuk menggantikan bahan bakar fosil (mineral dan galian), karena biofuel ramah lingkungan. Juga bahwa pasar minyak sawit mentah (crude palm oil) harganya sangat kompetitif di pasar dunia dibanding petroleum. Satu hektar kelapa sawit dapat menghasilkan 5.000 – 6.000 kg minyak mentah. Harga minyak ini mencapai lebih dari 400 USD per ton kubik atau sekitar 54 USD perbarel. Bandingkan dengan harga minyak mentah (petroleum) yang hanya mencapai 70 USD perbarel. Pada tingkat ASEAN, negara yang dapat menyaingi Indonesia (2,9 juta hektar) dalam minyak sawit hanya Malaysia (3,3 juta hektar) di tahun 2003. Namun, Malaysia bisa mengelola dan memanfaatkan hasil product lanjutan industri minyak sawit di negara sendiri sehingga keluarannya adalah bahan jadi siap konsumsi, sedangkan Indonesia masih terus menjual minyak mentah yang disebut CPO.

Nilai ekonomi yang besar dari produksi minyak mentah sawit, kemudian secara langsung menarik minat pemerintah untuk melakukan perluasan lahan perkebunan setelah harga bahan bakar fosil mengalami fluktuasi di tingkat pasar dunia. Tapi ironisnya wilayah-wilayah yang diperuntukan pemerintah untuk pengembangan tanaman ini adalah hutan konversi. Tentu saja peruntukan lahan dari pemerintah sangat menarik minat investor. Karena pada waktu pembukaan lahan, pihak perusahaan dapat langsung memanfaatkan kayu dengan cara mengurus izin pemanfaatan kayu – IPK dari Dinas Kehutanan. Perusahaan perkebunan justru mengeruk keuntungan untuk dirinya dari pemanfaatan hasil hutan kayu yang tidak terhitung dalam perjanjian baik dengan pemerintah maupun masyarakat pemilik hak adat atas tanah yang dikapling untuk perkebunan. Untuk menghidupi dan menjalankan aktifitas perusahaan pada tahap-tahap awal, perusahaan dengan strategi koperasi petani plasma, mendapatkan uang pinjaman modal usaha dari bank dengan menggadai sertifikat-sertifikat tanah milik masyarakat pengelola plasma. Beban utang pinjaman modal itu menjadi tanggungan petani plasma yang bersangkutan. Bahkan pemerintah juga membantu memfasilitasi proses-proses penipuan terhadap masyarakat adat pemilik tanah adat itu dengan memberikan izin perkebunan bagi investor yang sebenarnya bermodalkan penipuan terhadap masyarakat.

Dengan berasumsi pada mayoritas kebijakan pemerintah yang menguntungkan investor dari pada rakyatnya, kita dapat menggunakan daerah Kalimantan sebagai contoh pengelolaan perkebunan kelapa sawit: ”Dengan luasan kawasan hutan di Kalimantan Barat sekitar 14,694,302.180 ha yang menjadi andalan retribusi kehutanan di Kalimantan Barat, telah hilang dan habis digunakan sebagai perkebunan sawit yang luasan sekitar 7,067,711 ha. Dari data perkebunan sawit tahun 2005 yang berarti hilang sekitar 50% retribusi kehutanan. Dengan rata-rata perkebunan besar kelapa sawit menggunakan pola 7 (Inti/perusahaan) berbanding 3 (petani/plasma), maka luasan perkebunan sawit sekitar 7,067,711 ha yang dikuasai oleh perusahaan ialah sekitar 4,947,397.7 Ha, sedangkan pemilik petani seluas 2,120,313.3 ha. Dengan pola pembagian ini, banyak dari lahan plasma yang tidak diurus sendiri oleh petaninya dan juga tidak terurus oleh manajemen perusahaan, sehingga sawit milik plasma cenderung merupakan jenis tanaman seperti hutan liar kelapa sawit. Ini dikarenakan hasil panen yang diperoleh tidak mendapatkan keuntungan yang berarti bagi petani dengan pola yang diterapkan oleh perusahaan dan sistem perkreditan yang secara terus-menerus diumpan kepada petani (baik infrastruktur maupun kesuburan tanaman).

Sebuah hasil study dalam pergumulan panjang menyebutkan dampak negatif perkebunan sawit berdasarkan pengalaman-pengalaman pada daerah lain, antaranya :

1. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas, dan over loads konversi. Hilangnya keanekaragaman hayati akan menimbulkan kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.

2. Pembukaan lahan sering dilakukan dengan cara tebang habis dan land clering dengan cara pembakaran demi efisiensi biaya dan waktu

3. Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit. Dimana dalam satu hari satu pohon sawit menyerap 12 liter air (hasil penelitian Universitas Riau). Disamping itu, pertumbuhan kelapa sawit harus diransang dengan berbagai macam zat fertilizer seperti pestisida dan bahan kimia lainnya

4. Munculnya hama migran baru yang sangat ganas, karena jenis hama ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lain. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi

5. Pencemaran yang diakibatkan asap dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama

6. Terjadinya konflik horizontal dan vertikal akibat masalah perijinan lahan dari pemerintah dan status kuasa adat atas tanah

7. Praktek konversi hutan alam skala besar seringkali menjadi penyebab utama erosi, tanah longsor dan kelangkaan sumber air bersih.

Dari gambaran tersebut di atas, jelas berapa besar biaya yang seharusnya dicadangkan oleh suatu korporasi dan pemerintah untuk mengaktisipasi dampak-dampak negatif yang akan muncul, setelah mereka telah selesai menghitung pendapatan bersih dari nilai jual minyak sawit di pasar. Apakah masyarakat pribumi akan diuntungkan dengan pola plasma? Sedangkan untuk melakukan aktivitas perkebunan sawit memerlukan biaya dalam manajemen yang tinggi dan menggunakan teknologi genetika yang berpedoman pada sistem ’revolusi hijau’ tanaman.

Sumber:
World Growth (2011)
PanEco (2008)

*end*

Read more »

Menilai Kebun Sawit dengan Benar (2/3)

Fakta Lain
Sementara pertumbuhan sub-sektor perkebunan kelapa sawit yang telah menghasilkan manfaat ekonomi yang penting, pengembangan areal perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap keberadaan hutan tropis Indonesia. Hal ini terjadi karena pengembangan areal perkebunan kelapa sawit utamanya dibangun pada areal hutan konversi. Konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit terus berlangsung sampai saat ini walaupun di Indonesia sesungguhnya sudah tersedia lahan kritis dan lahan terlantar dalam skala yang sangat luas (sekitar 30 juta Ha) sebagai akibat aktifitas pembukaan dan/atau eksploitasi hutan untuk berbagai keperluan (Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan, 2000). Para investor lebih suka untuk membangun perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan konversi karena berpotensi mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) dari areal hutan alam yang dikonversi. Kayu IPK sangat dibutuhkan  oleh industry perkayuan, terutama industry pulp dan kertas, karena produksi kayu yang berasal dari HPH semakin berkurang dari tahun ke tahun.

Sebagai akibatnya, kegiatan konversi hutan telah menjadi sumber pengrusakan hutan alam Indonesia, bahkan menjadi ancaman terhadap hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati ekosistem hutan tropis Indonesia. Di samping itu karena motivasi utamanya untuk mendapatkan keuntungan yang besar dan cepat dari kayu IPK, perlaksanaan konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan terlantar berupa semak belukar dan/atau lahan kritis baru sedangkan di lain pihak realisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan yang direncanakan.

Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam praktiknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga merambah pada kawasan hutan produksi, bahkan di kawasan konversi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Manurung, 2000; Potter and Lee, 1998a).

Selanjutnya, praktik konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Hal ini terjadi karena pada kegiatan pembersihan lahan (land clearing) untuk membangun perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan cara membakar agar cepat dan biayanya murah. Berbagai pemberitaan media massa dan hasil penelitian lapangan menyebutkan bahwa sebagian besar kejadian kebakaran hutan dan lahan berada di (berasal dari) lokasi pembangunan perkebunan kelapa sawit dan HTI. Penyebab utama kebakaran hutan tersebut diidentifikasi sebagai faktor kesengajaan oleh manusia  (yang diperburuk oleh faktor alami, yaitu terjadinya musim kering yang panjang akibat El-Nino). Pihak perusahaan dengan sengaja melakukan pembakaran, atau perusahaan perkebunan “membayar” penduduk lokal untuk melakukan pembakaran dalam kegiatan pembukaan lahan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit dan/atau HTI. Di samping itu, kebakaran hutan juga disebabkan oleh adanya konflik lahan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat setempat yang diantaranya menimbulkan ‘perang api’ antara pihak masyarakat dan perkebunan yang terlibah dalam konflik lahan (Manurung dan Mirwan, 1999; Potter dan Lee, 1998a).

Berbagai permasalahan lingkungan yang disebutkan di atas dan berbagai dampak negatif lainnya terhadap lingkungan akibat konversi hutan alam menjadi areal perkebunan kelapa sawit—misalnya, sebagai akibat ekosistem hutan hujan tropis diubah menjadi areal tanam monokultur, muncul serangan hama dan penyakit, perubahan aliran air permukaan tanah, menigkatnya erosi tanah, dan pencemaran lingkunga  akibat pemakaian pupuk dan pestisida dalam jumlah banyak, serta berbagai dampak negatif lainnya terhadap eco-function yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan alam tropis—menimbulkan biaya yang tidak sedikit pada pihak ketiga, sehingga layaknya diperhitungkan sebagai biaya lingkungan.

Permasalahan lainnya, pembangunan areal kelapa sawit skala besar juga telah menyebabkan dipindahnya masyarakat lokal yang tinggal di dalam wilayah pengembangan perkebunan kelapa sawit. Ganti rugi tanah pada areal pengembangan kelapa sawit tersebut seringkali menimbulkan permasalahan karena tidak dibayar dengan harga yang ‘adil’ dan ‘pantas’. Di samping itu, seringnya terjadi penyerobotan (pencaplokan) lahan masyarakat adat oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, padahal di atas tanah tersebut masih terdapat tanaman pertanian dan tanaman perkebunan milik masyarakat. Tindakan penyerobotan tanah masyarakat adat ini dilakukan baik secara halus maupun dengan cara paksaan, misalnya dengan cara pembakaran lahan yang telah diorganisir dengan baik oleh pihak perusahaan (Potter dan Lee, 1998b). sebagai akibatnya, seringkali timbul permasalahan klaim lahan oleh masyarakat setempat terhadap areal perkebunan kelapa sawit yang sedang/telah dibangun. Berbagai permasalahan ini telah menyulut permasalahan konflik sosial yang berkepanjangan dan sangat merugikan semua pihak—terutama bagi masyarakat yang mengalami dampak negatif akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit—sehingga biaya sosial yang harus dikeluarkan menjadi sangat tinggi. Konflik sosial yang terjadi akhirnya menjadi sumber risiko dan ketidakpastian bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam melakukan bisnis usahanya secara berkelanjutan.

Biaya lingkungan dan biaya sosial yang terjadi seharusnya turut diperhitungkan dalam analisis investasi perkebunan sawit. Namun, perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta tidak pernah memasukkan biaya lingkunagn dan biaya sosial ini dalam analisis financial proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit. Hal ini terjadi karena biaya-biaya lingkungan dan sosial yang timbul tidak ditanggung (dibayar) oleh perusahaan perkebunan pada saat melakukan investasi. Biaya yang terjadi akibat munculnya konflik sosial berkepanjangan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat akan dibayar dengan mahal oleh perusahaan setelah kegiatan bisnis perkebunan kelapa sawit berjalan. Sementara itu, masyarakat (khususnya masyarakat setempat) yang mengalami dampak negatif dari keberadaan proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit, merupakan pihak yang menanggung biaya sosial dan lingkungan yang terjadi sejak awal dimulainya proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit. Semua biaya lingkungan dan biaya sosial yang terjadi sesungguhnya menjadi biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat/negara Indonesia, bahkan turut ditanggung oleh masyarakat internasional. Oleh kerena itu, para pembuat kebijakan dan khususnya para pengambil keputusan di pemerintahan dalam mengevaluasi (menilai) analisis biaya dan manfaat proyek pembangunan kelapa sawit harus turut memperhitungkan berbagai biaya lingkungan dan biaya sosial tersebut.

Kemudian Rhett A. Butler memaparkan dampak lingkungan dan sosial yang disebabkan oleh perkebunan sawit.

Dampak Lingkungan

Beberapa studi telah menemukan penurunan jumlah (80 persen untuk tanaman dan 80-90 persen untuk mamalia, burung, dan reptilia) dalam keragaman hayati menyusul diubahnya hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Lebih jauh lagi, banyak hewan tak akan masuk ke perkebunan, namun lainnya, seperti orangutan, menjadi hama tanaman perkebunan dan membahayakan mereka dari perburuan liar para petugas perkebunan atas dasar defensif. Penggunaan herbisida dan pestisida dapat pula berdampak pada komposisi spesies dan menjadi polusi di aliran sungai lokal. Dibutuhkan sistem pengeringan yang dibutuhkan untuk perkebunan (perkebunan kelapa sawit di Kalimantan biasanya didirikan di hutan rawa) bisa menurunkan tingkat air di hutan-hutan sekitarnya. Selain itu, perusakan lahan gambut meningkatkan resiko datangnya banjir dan kebakaran. Pembukaan hutan dengan api yang dinyalakan oleh pemilik perkebunan kelapa sawit besar adalah penyebab terbesar satu-satunya pada kebakaran di Borneo pada tahun 1997-1998.

Dampak Sosial

Menurut Dr. Lisa Curran, walau tak diragukan lagi bahwa perkebunan kelapa sawit menyediakan kesempatan kerja yang besar di Borneo, ada keraguan mengenai keadilan dari sistem yang ada, yang sepertinya kadang kala menjadikan para pemilik perkebunan kecil dalam kondisi yang mirip dengan perbudakan.

Kelapa sawit sepertinya menjadi alternatif terbaik bagi masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari menanam karet, menanam padi, dan menanam buah-buahan. Saat sebuah perusahaan pertanian besar masuk ke suatu daerah, beberapa anggota masyarakat kebanyakan sangat tertarik untuk menjadi bagian dari perkebunan kelapa sawit. Karena mereka tak memiliki kepemilikan legal atas tanah mereka, kesepakatan biasanya dibuat sehingga mereka memiliki 2-3 hektar (508 are) lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Mereka biasanya meminjam 3.000-6.000 USD (dengan bunga 30 persen per tahun) dari perusahaan induknya untuk biaya bibit, pupuk, dan kelengkapan lain. Karena kelapa sawit membutuhkan sekitar 7 tahun untuk berbuah, mereka bekerja seperti buruh dengan bayaran 2,5 USD per hari di perkebunan besar. Sementara lahan mereka belum menghasilkan namun membutuhkan pupuk dan pestisida, yang dibeli dari perusahaan kelapa sawit. Saat perkebunan mereka mulai berproduksi, pendapatan umum untuk lahan seluas 2 hektar adalah 682-900 USD per bulan. Di masa lalu, karet dan kayu menghasilkan 350-1.000 USD per bulan, menurut Curran. Rendahnya pendapatan digabung dengan tingginya modal yang dibutuhkan dan tingginya bunga pinjaman tampaknya akan membuat para pemilik kecil ini tetap terus-menerus berhutang pada perusahaan kelapa sawit.

Menurut Curran, hutang ini, ditambah dengan total ketergantungan pada perusahaan yang tak bisa mereka percaya, mempunyai dampak psikologis pada masyarakat. Karena tak ada jalan untuk melawan tindakan perusahaan, konflik pun muncul di dalam masyarakat, terutama bila sebagian besar masyarakat melawan perusahaan tersebut (Dayak sering melawan rencana perusahaan kelapa sawit). Sering kali maksud-maksud rahasia digunakan untuk menguasai suatu masyarakat. Sebagai contoh, sebuah hadiah sepeda motor bisa memenangkan pengaruh atas pemimpin-pemimpin masyarakat. Ketika telah mendapatkan persetujuan, perusahaan kelapa sawit akan bernegosiasi satu per satu dengan tiap kepala rumah tangga, untuk menghilangkan kekuatan menawar yang lebih tinggi dari masyarakat lain.

Survei yang dilakukan oleh Curran menunjukkan bahwa masyarakat di daerah Kalimantan Barat sangat prihatin dengan munculnya banjir setelah diberdirikannya perkebunan-perkebunan kelapa sawit. Mereka juga khawatir akan kehilangan budaya dan hasil-hasil hutan -- anggota tua masyarakat tidak selalu menyetujui wanita dan anak-anak bekerja di perkebunan. Penanaman kelapa sawit juga membuat penduduk lokal lebih tergantung pada perusahaan pertanian karena mereka tak lagi menanam makanan mereka sendiri. Terakhir, beberapa masyarakat telah menyatakan ketidakpuasannya bekerja pada pihak Malaysia. Walau mereka memiliki banyak keluhan, yang lain melihatnya sebagai alternatif.

Sementara, perusahaan kelapa sawit meraup keuntungan besar. Menurut perhitungan Curran, beberapa perusahaan di Kalimantan Barat akan mendapatkan 26 persen tingkat pengembalian modal per tahunnya selama 25 tahun, sebuah angka yang luar biasa.

bersambung...

Read more »

Menilai Kebun Sawit dengan Benar (1/3)

Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia dan industri ini merupakan sektor ekspor pertanian yang paling tinggi nilainya selama dasawarsa terakhir.

Berkembangnya sub-sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memeberikan berbagai intensif. Terutama kemudahan dalam hal perizinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIR-Bun dan dalam perizinan pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta. Pada tahun 1996, pemerintah Soeharto merencanakan untuk mengalahkan Malaysia sebagai eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan cara menambah luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dua kali lipat, yaitu menjadi 5,5 juta hektar pada tahun 2000. Separuh dari luasan perkebunan kelapa sawit ini dialokasikan untuk perusahaan perkebunan swasta asing. Pengembangan perkebunan kelapa sawit terutama akan dibangun di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Irian Jaya.

Industri minyak sawit merupakan kontributor penting dalam produksi di Indonesia. Pada tahun 2008, Indonesia memproduksi lebih dari 18 juta ton minyak sawit. Industri ini juga berkontribusi dalam pembangunan daerah, sebagai sumber daya penting untuk pengentasan kemiskinan melalui budidaya pertanian dan pemrosesan selanjutnya. Produksi mintak sawit menjadi jenis pendapatan yang dapat diandalkan oleh banyak penduduk miskin pedesaan di Indonesia. Menurut satu sumber, sektor produksi kelapa sawit di Indonesia dapat menyediakan lapangan pekerjaan lebih dari 6 juta orang dan mengentaskan mereka dari kemiskinan. Lebih dari 6,6 juta ton minyak kelapa sawit dihasilkan oleh petani kecil yang memiliki lebih dari 41 persen dari total perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2006, didapati sekitar 1,7-2 juta orang bekerja di industri kelapa sawit.

Industri kelapa sawit di Indonesia baru-baru ini mendapat kecaman dari sejumlah LSM yang berkampanye menentang industri ini kerena dianggap bertanggungjawab atas penggundulan hutan, emisi karbon, dan hilangnya keragaman hayati. Akibatnya muncul keluhan yang meluas bahwa industri minyak sawit tidak berkelanjutan serta usul untuk menghentikan atau membatasi konversi lahan hutan di masa depan.

Pada Mei 2010, Pemerintah Indonesia menyiratkan akan ada moratorium dua tahun dalam pemberian konsesi baru untuk pembukaan hutan alam dan lahan gambut, berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani dengan pemerintah Norwegia, yang bertujuan mengurangi gas rumah kaca. Sebagai imbalan atas kesepakatan tersebut, Norwegia setuju berinvestasi satu miliar dolar dalam proyek pelestarian hutan di Indonesia. Setahun sebelumnya, pemerintah Indonesia mengumumkan akan menggandakan produksi minyak sawitnya menjadi 40 juta ton sebelum tahun 2010.

Pentingnya Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia

PDB Indonesia diperkirakan $510,77 miliar pada 2008, sehingga Indonesia termasuk negara berpenghasilan menengah ke bawah. Dalam dasaawarsa terakhir, pertumbuhan PDB rata-rata 5 persen (6,0 persen pada 2009) dan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,2 persen. PDB per kapita juga tumbuh secara ajek. Penduduk Indonesia diperkirakan terus tumbuh dengan angka pertumbuhan tahunan 0,57 persen menjadi lebih dari 271 juta menjelang 2030.

Komposisi strutur ekonomi Indonesia berubah banyak dalam waktu empat dasawarsa terakhir. Seperti kebanyakan negara di kawasan ini, terjadi peralihan dari ekonomi pertanian yang tadinya menonjol menjadi sektor industri dan jasa. Dewasa ini, produksi Indonesia terutama didominasi oleh sektor industri, yang berkontribusi di atas 48 persen dalam kegiatan perekonomian total, termasuk migas yang berkontribusi lebih dari 10 persen PDB (BPS, 2010). Sektor jasa berkontribusi 38 persen, sementara sektor pertanian 14 persen (OECD, 2010).

Kontribusi Kelapa Sawit bagi Perekonomian Indonesia

Minyak sawit adalah produk pertanian kedua terbesar Indonesia; pada 2008, Indonesia menghasilkan lebih dari 18 juta ton minyak sawit. Selama dasawarsa yang lalu, minyak sawit merupakan ekspor pertanian Indonesia yang paling penting. Pada 2008, Indonesia mengekspor lebih dari $14,5 juta dalam bentuk produk yang berkaitan dengan sawit. Industri minyak sawit Indonesia mengalami pertumbuhan pesat dalam beberapa tahun belakangan ini, kira-kira 1,3 juta ha lahan baru dijadikan perkebunan kelapa sawit sejak 2005, sehingga mencapai hampir 5 juta ha pada 2007 (mencakup 10,3 persen dari 48,1 juta ha lahan pertanian (FAO, 2010)). Perluasan luar biasa ini terjadi karena imbal hasil tinggi yang dipacu oleh permintaan yang semakin besar. Kebun kelapa sawit Indonesia yang luas berada di Sumatera, mencakup lebih dari 75 persen total areal kelapa sawit matang dan 80 persen total produksi minyak sawit (USDA, 2009). Provinsi produksi utama di Indonesia adalah Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, dan Sumatera Barat.

Pada 2008, sekitar 49 persen perkebunan kelapa sawit dimiliki swasta, 41 persen dimiliki petani kecil, dan sisanya yang 10 persen dimiliki pemerintah. Perkebunan sawit adalah penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia, menghasilkan lebih dari 9,4 juta ton berdasarkan perhitungan pada 2008. Pada tahun yang sama, perkebunan petani kecil menghasilkan 6,7 juta ton, dan perkebunan pemerintah menghasilkan 2,2 juta ton.

Kelapa Sawit dan Pembangunan Pedesaan di Indonesia

Kemiskinan di Indonesia pada umunya terdapat di pedesaan. Pada 2009, dai 32,5 juta orang di Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional, 20,6 juta di antaranya tinggal di daerah pedesaan. Persentase penduduk miskin di daerah pedesaan Indonesia jauh melampaui persentase penduduk miskin di perkotaan, dengan lebih dari 17,3 persen penduduk desa hidup di bawah garis kemiskinan, jika dibandingkan dengan 10,7 persen di perkotaan (IFAD). Angka kemiskinan umum ini tidak termasuk jutaan orang yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan. Data Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD) mendapati bahwa penduduk termiskin di daerah pedesaan pada umumnya buruh tani, dan luas lahan milik petani kecil tidak sampai 0,5 ha.

Lebih dari separuh penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan. Pada 2002, pertanian meliputi dua pertiga lapangan kerja di pedesaan dan mencakup hampir separuh pendapatan rumah tangga pedesaan (upah dan pendapatan dari pertanian) (ADB, 2006 hal.3). Sebuah kajian pada 2004 menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB pertanian di Indonesia berperan besar dalam menurunkan angka kemiskinan, terutama di daerah pedesaan. Tepatnya, pertumbuhan tahunan 1 persen ternyata menurunkan kemiskinan total sebesar 1,9 persen (kemiskinan perkotaan sebesar 1,1 persen, dan kemiskinan pedesaan 2,9 persen) (Sumatro dan Suryahadi, 2004 dalam ADB, 2006). World Growth (2009) mencatat bahawa selama dasawarsa terakhir, perluasan industri—khususnya minyak sawit—merupakan sumber yang signifikan dalam penurunan angka kemiskinan melalui adidaya pertanian dan pemrosesan selanjutnya.

Pertumbuhan industri minyak sawit yang signifikan menyebabkan minyak sawit menjadi komponen kegiatan ekonomi di sejumlah negara wilayah ini. Di wilayah tertentu, kelapa sawit merupakan tanaman yang dominan dan berperan dan berperan besar dalam pembangunan ekonomi. Pada dasawarsa terakhir, areal perkebunan kelapa sawit terus bertambah luas, rata-rata 13 persen di Kalimantan dan 8 persen di Sulawesi (USDA,2009). Penanaman dan panen kelapa sawit bersifat padat karya, sehingga industri ini berperan cukup besar dalam penyediaan lapangan kerja di banyak wilayah. Goenadi (2008) memperkirakan industri kelapa sawit di Indonesia mungkin dapat menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 6 juta jiwa dan mengentaskan mereka dari kemiskinan (Goenadi, 2008 hal.3). Manfaat lain bagi pekerja industri kelapa sawit mencakup pendapatan pasti, akses keperawatan kesehatan dan pendidikan (Sheil, D. et.al, 2009). Industri kelapa sawit memberikan pendapatan berkelanjutan bagi banyak penduduk miskin di pedesaan; dan areal pengembangan kelapa sawit utama seperti Suamtera dan Riau juga memiliki persentase penduduk miskin yang besar.

Kontribusi Kelapa Sawit bagi Perekonomian Lokal dan Petani Kecil

Kelapa sawit menyediakan lapangan kerja untuk banyak petani kecil, dengan lebih dari 6,7 juta ton kelapa sawit dihasilkan oleh petani kecil pada 2008. Pada 2006, Komisi Minyak Sawit Indonesia mendapati bahwa lebih dari 41 persen perkebunan kelapa sawit yang dimiliki petani kecil, dan 49 persen dimiliki swasta—sisanya yang 10 persen dimiliki oleh pemerintah. Industri kelapa sawit berperan besar dalam pendapatan penduduk pedesaan, terutama petani kecil. Pada 1997, pendapatan rata-rata petani kecil kelapa sawit tujuh kali pendapatan petani yang mengandalkan hidup dari tanaman pangan (Hardter et al, 1997 hal.99).

Imbal Hasil dari Produksi Kelapa Sawit

Dalam hal penggunaan lahan, kelapa sawit memberikan hasil tertinggi per unit luas jika dibandingkan dengan benih minyak nabati lainnya. Minyak yang rata-rata dihasilkan 1 ha kebun kelapa sawit adalah 4,09 ton, dibandingkan dengan kedelai, bunga matahari, dan canola yang masing-masing menghasilkan 0,37, 0,5, dan 0,75 ton (Sustainable Development Project, 2010 dan Oil World, 2010). Varietas kelapa sawit modern berhasil tinggi, dalam cuaca ideal dan pengelolaan yang baik, mampu menghasilkan 5 ton minyak sawit per hektare per tahun (FAO, 2002).

Goenadi (2008) mengemukakan bahwa, kerena iklim tanam di Indonesia, hasil minyak sawit mungkin dapat mencapai 6-7 ton per hektare. Namun, pada 2008, Indonesia hanya menghasilkan rata-rata 3-4 ton kelapa sawit per hektare (Komisi Minyak Sawit Indonesia, 2008 hlm. 25). Dengan meningkatkan hasil prouksi kelapa sawit, Indonesia berpotensi meningkatkan produksi tanpa harus melakukan konversi lahan tambahan.

Imbal hasil penggunaan lahan kelapa sawit cukup signifikan jika dibandingkan dengan bentuk penggunaan lahan lainnya. Pada 2007, laporan yang disusun untuk Stern Review memeperkirakan imbal hasil dari penggunaan lahan kelapa sawit berkisar dari $960/ha hingga $3340/ha. Ini dibandingkan dengan panen keret, beras bera, singkong, dan kayu yang masing-masing menghasilkan $72/ha, $28/ha, $19/ha, dan $1099/ha. Tepatnya, imbal hasil penggunaan lahan untuk kelapa sawit diperkirakan mencakup:
·         $960/ha untuk petani independen berhasil-rendah;
·         $960/ha untuk petani independen berhasil-tinggi;
·         $2100/ha untuk petani bersubsidi; dan
·         $3340/ha untuk petani berskala besar
(Greig-Gran M, 2008).

bersambung.....

Read more »

Kamis, 24 November 2011

Jeritan Hati

Ilustrasi
Saya adalah seorang mahasiswa, berasal dari Desa Mentajoi sebuah desa di pelosok sungai Tekungai anak sungai Serawai. Desa saya merupakan salah satu desa yang menjadi sentral operasi perusahaan  HPH yaitu PT. ALAS KUSUMA. Hal inilah yang menjadi keprihatinan saya, sehingga tergugah untuk membagikan pengalaman kepada para pengunjung blog Kec. Serawai. Dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan bagaimana masyarakat  desa saya tergiur dengan janji manis perusahaan HPH, yang pada akhirnya merasa dikecewakan. Harapan saya pengalaman ini bisa menjadi pertimbangan kita untuk berani menyuarakan penolakan perusahaan sawit yang saat ini sedang hangat-hangatnya diperbincangkan, terkhusus bagi kita yang katanya merupakan intelektual muda. Dari pengamatan saya, cara yang digunakan  perusahaan HPH dengan perusahaan Sawit untuk mengambil hati masyarakat pribumi tidak jauh berbeda yakni dengan mengumbar janji-janji manis.

PT Alas Kusuma merupakan salah satu PT yang bergerak di bidang perkayuan yang mulai beroperasi di Kecamatan Serawai khususnya di daerah Merako, Tontang, Mentajoi, dan desa-desa sekitar sejak tahun 1974. Baru-baru ini kepada masyarakat Desa Mentajoi khususnya, perusahaan ini menjanjikan untuk membangun Gereja dengan bahan bangunan seluruhnya dari kayu ulin dan sebuah jembatan. Janji ini di sampaikan kepada masyarakat untuk dapat beroperasi di Lahan baru, Lahan yang masih “Perawan”. Dengan segala keterbatasan pemikirannya masyarakat berhasil dibodohi perusahaan dengan hasil yang sangat mengecewakan. Gereja dibangun tidak sesuai dengan kesepakatan, begitu juga halnya dengan Jembatan. Lebih parah lagi Pembangunan Gereja dan Jembatan ini pun sepertinya dilakukan perusahaan dengan terpaksa. Karena janji ini baru dipenuhi setelah melalui diskusi-diskusi yang panjang, lebih picik-nya lagi perusahaan baru mau duduk berdiskusi dengan masyarakat setelah masyarakat menghentikan Operasi perusahaan, Bahasa trennya dalam masyarakat “Magar Jalan”.

Jauh sebelum ini, sebetulnya masyarakat sudah sering dibohongi oleh pihak perusahaan, namun karena cara licik yang digunakan perusahaan, ditambah lagi keterbatasan pemikiran masyarakat akhirnya masyarakat berhasil dibodohi. Misalnya, perusahaan menjanjikan untuk membangun asrama di kecamatan Serawai untuk anak-anak yang ingin bersekolah, penerangan (listrik), air Bersih, lowongan pekerjaan dll. Nyatanya hingga kini nyaris tidak ada satupun janji ditepati. Padahal lahan yang diminta perusahaan kini sudah hampir selesai digunduli, sementara janji tinggal janji. 

Belajar dari pengalaman desa saya, apakah kita percaya begitu saja dengan janji-janji manis perusahaan sawit dan membiarkan mereka beroperasi?. Saya berpendapat tidak akan jauh berbeda dengan Janji yang di tawarkan perusahaan HPH kepada desa saya. Diluar dampak-dampak yang ditimbulkan dari operasi perusahaan sawit ini, mari kita pertimbangankan tentang janji yang mereka tawarkan. 

Janji untuk membuka akses jalan, apakah sebanding dengan kerusakan hutan yang akan kita alami. Menurut saya akses jalan bisa kita dapatkan dengan cara lain, tanpa harus mengorbankan Kesuburan dan kekayaan alam kita. Caranya antara lain melalui pendidikan, fokus untuk mengembangkan pendidikan dan berikan kesempatan kepada anak-anak muda untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, agar kelak dapat bahu membahu memasuki dunia politik atau bidang-bidang lain untuk memperbaiki kebobrokan pemerintah yang terkesan pilih kasih. Dipulau Jawa misalnya, tidak ada lahan sawit, tetapi mereka memiliki jalan yang baik. Sementara di Kalimantan tidak ada akses jalan penghubung antar provinsi apalagi jalan kepelosok seperti Serawai dan daerah-daerah pelosok lainnya. 

Janji untuk menyediakan lowongan pekerjaan, Sumber daya manusia kita belum cukup mampu bersaing. Mungkin kita atau beberapa saudara kita bisa dipakai perusahaan dibeberapa departemen baik menjadi staf maupun pimpinan. Bagaimana dengan yang lainnya, apakah kita bisa tidur nyenyak menyaksikan saudara-saudara kita menjadi kuli sawit ditanahnya sendiri, sementara para pendatang menjadi raja. “Si Kuli adalah si Pemilik lahan” inilah kesimpulan dari berbagai kesaksian yang saya baca dari artikel-artikel tentang Perusahaan Sawit.

Untuk para pembaca tulisan ini, mari kita bahu membahu dengan cara-cara yang dapat kita lakukan untuk menyuarakan penolakan sawit. Meskipun pada saat ini perusahaan sawit sudah memulai beroperasi, apabila kita mau berusaha tidak ada kata terlambat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada beberapa oknum Kepala Desa sudah makan uang perusahaan dan memberikan tanda tangannnya yang sangat berharga itu dengan mengatasnamakan masyarakat bahwa masyarakat menerima sawit. Tapi yakinlah masyarakat sebenarnya memiliki hati nurani yang baik, jauh dilubuk hati mereka juga sama seperti kita yaitu tidak setuju dengan sawit. Permasalahannya adalah mereka masih memiliki banyak keterbatasan untuk menyuarakannya. 

Beberapa hal yang dapat kita lakukan adalah berikan pemahan kepada masyarakat untuk tidak menyerahkan lahannya kepada perusahaan, beri mereka keyakinan tentang dampak negatif sawit. Saya juga pernah mendapatkan curhatan seorang warga di Desa Tontang yang memiliki tanah cukup luas, bagaimana ngototnya orang-orang perusahaan menggoda masyarakat untuk menyerahkan tanahnya. Di akhir perbincangan Orang tersebut berkata seperti ini:

“Ihkam cok sokulah tuh noh cok kongarap kai juoi tuh rih, yarok taan kai titui ngolaban cok ihkai tuh holu poh karas huang kai nolak sawit hion ulun tapi yarok cok taan kai titui kesah ah bohkolo” .

Oleh: Albinus Marsudi (Jahpung)

Read more »

Senin, 21 November 2011

Mari kita renungkan sejenak. .

Dalam berpikir, terkadang kita pragmatis, kita maunya sesuatu itu terjadi secara praktis tanpa proses, padahal proses itulah hal yang terpenting dalam sebuah pencapaian.

Kita sama-sama tahu permasalahan terbesar Kecamatan Serawai dan Ambalau Adalah Infrastruktur jalan, listrik, kesehatan, sarana air bersih dan seabrek permasalahan lainnya, padahal infrastruktur dan sarana tersebut merupakan hal yang mendasar bagi kemajuan suatu daerah.

Dengan adanya infrastruktur jalan yang baik yang membuka akses dan menghubungkan daerah atau wilayah misalkan jalan yang bagus menghubungkan Kota Sintang dan Kecamatan Serawai sudah pasti akan membawa dampak yang positif bagi kemajuan Kecamatan Serawai dimana distribusi barang dan jasa akan lebih mudah ketimbang yang selama ini terjadi lewat transportasi sungai, lewat jalan darat dapat menghemat biaya transportasi dan berpengaruh terhadap harga barang itu sendiri yang pastinya tidak semahal yang ada di serawai saat ini, demikian pula dengan transportasi massa/manusia, biaya transportasi menjadi lebih murah ketimbang jika kita menggunakan transportasi sungai, hal ini berdampak pada penghematan biaya sehingga uang yang kita miliki selebihnya dapat digunakan untuk keperluan yang lain, dan masih banyak dampak positif dengan adanya infrastruktur jalan yang bagus. Saya tidak bisa membayangkan kemajuan yang akan terjadi di Serawai apabila memiliki infrastruktur jalan yang bagus. Demikian pula dengan infrastruktur yang lain seperti yang disebutkan sebelumnya sangat memberikan dampak bagi kemajuan suatu daerah.

Akan tetapi semua hal yang disebutkan diatas tentunya tidak dapat terjadi secara tiba-tiba, ada proses yang berlangsung didalamnya.

Apa itu? jawabannya adalah diri kita sendiri sebagai masyarakat Kecamatan Serawai- Ambalau.

Ada hal yang tidak kalah pentingnya selain tersedianya infrastruktur yang baik, yaitu sumber daya manusia (SDM) yang merujuk pada kualitas dari masyarakat Serawai-Ambalau itu sendiri, hal yang menentukan kualitas dari manusia itu salah satunya adalah pendidikan yang dalam hal ini bukan hanya persoalan sarana fisik pendidikan seperti gedung, laboratorium atau sarana lainnya saja akan tetapi lebih kepada kesadaran para pendidiknya untuk meningkatkan kualitas manusia itu sendiri, jika pendidik punya kesadaran untuk meningkatkan kualitas manusia, pasti terlebih dahulu Ia akan meningkatkan kualitas diri, contohnya saja dengan terus mengembangkan pengetahuan sehingga dapat membaginya kepada anak didik, menjalankan tugas sesuai dengan prosedur bukan hanya memikirkan kepentingan dan keuntungan pribadi. Kita sering mendengar ada oknum pendidik yang menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi, sangat dapat dipastikan akan membawa dampak negatif bagi anak didiknya sendiri, karena anak-anak akan mencontoh teladan dari yang lebih tua.

Bukan hanya persoalan pendidikan, masih banyak hal lainnya seperti teman-teman yang dipercaya untuk melaksanakan suatu proyek, kalau yang dipikirkan hanyalah kruntungan dan kepentingan pribadi, dapat dipastikan apa yang telah dipercayakan kepadanya tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang sama-sama kita ketahui, bagaimana kondisi jalan yang ada di nanga Serawai dan saya rasa tidak perlu saya jelaskan lagi karena kita semua tahu bagaimana kondisinya dan juga proyek-proyek lainnya. Seberapa besarpun anggaran yang dialokasikan untuk membangun infrastruktur itu, pastinya tidak akan sesuai target apabila yang melaksanakannya tidak memiliki kualitas diri.

Masih banyak aspek lainnya yang juga menjadi penentu dari kemajuan didaerah kita, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, teman-teman sendiri pasti bisa memikirkannya.

Dari semua yang saya sampaikan diatas, ada satu kesimpulan yang ingin saya katakan.

Mari kita sama-sama meningkatkan kualitas diri kita masing-masing!!!

Bagi yang sudah bekerja, tunjukanlah kecintaan saudara terhadap daerah kita sendiri dengan meningkatkan kualitas kerjanya. bagi yang masih menempuh pendidikan, carilah sebanyak-banyaknya pengetahuan dan ilmu, kuliah itu jangan hanya mencari nilai dan gelar!!!!! tapi yang terpenting adalah ilmu dan pengetahuannya!!!! Pendidikan bukan hanya untuk otak, tapi juga untuk hati!!!

Dengan meningkatkan kualitas diri kita, niscaya akan berpengaruh kepada lingkungan bahkan masyarakat.

Kita baru-baru ini dikejutkan dengan banyak terjadi kasus pemerkosaan, perbuatan ausila dan sebagainya, kejadian ini bukan semata diakibatkan oleh rendahnya moral si pelaku akan tetapi juga diakibatkan rendahnya kualitas pemikiran, pola pikirnya. Ini menunjukan bahwa masyarakat kita belum siap menghadapi perkembangan jaman, perkembangan teknologi informasi.

Terus terang saya pribadi sudah bosan dengan situasi didaerah kita, apa kita mau keadaan daerah kita tetap saja terpuruk seperti itu?!! pasti jawabannya tidakkan!!

Sejarah mencatat bahwa, kualitas suatu masyarakat berpengaruh kepada kemajuan tempat tinggalnya, dan saya rasa kita semua pernah mendengar " suatu bangsa tidak akan berubah kalau bangsa itu sendiri tidak mau merubahnya dirinya" !!! Kita sendirilah yang pertama-tama harus berubah!!

Kalau bukan kita, siapa lagi yang peduli dengan daerah kita sendiri!!!!!

Semoga..

‎"Lebih baik berusaha menyalakan sebuah lilin daripada terus-menerus mengutuk kegelapan"


                                                                                                                                      (Ferdinan Milyardi)

Read more »

Rabu, 16 November 2011

Jawaban Direktur PDAM Sintang Perihal Kondisi PDAM Serawai

Berikut ini adalah postingan wawancara antara Ferdinan Milyardi dengan Gana Suka selaku direktur PDAM Sintang.

Ferdinan Milyardi:

“ Pak, bagaimana dengan status PDAM dikecamatan serawai? Sekarang bangunan PDAM serawai sudah jadi hutan, lebih dari 5 tahun tidak beroperasi.”




Gana Suka:

“ Sebelumnya saya mohon maaf kepada semua pembaca yang mungkin bisa melihat dan menyimpulkan semuanya. Perkenankan saya untuk mengungkapkan sesuai fakta dengan tidak mengurangi rasa hormat terhadap Pemda Sintang terutama Bupati Sintang selaku Pemilik PDAM (sesuai Permendagri No 2 th 2007) bahwa sebenar sebelum saya menjabat (Maret 2009) PDAM di Serawai sudah lama tidak beroperasi. Staf yang ada saya tarik ke Sintang dengan harapan sambil membenahi secara teknis dan administrasi manakala ada perbaikan dari Pemda tentang kerusakan di PDAM Serawai dan setelah baik akan ada penempatan staf kembali ke sana. Namun sangat disayangkan setiap Musrenbang di Sintang selalu kami suarakan kondisi sesuai fakta untuk dilakukan perbaikan hingga 2 tahun saya menjabat belum ada upaya perbaikannya. Untuk diketahui bahwa kami di PDAM statusnya hanya operator jika berkaitan dengan infrastruktur, pengadaan dan sebagainya tidak ada kewenangan karena PDAM bukan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah/red). Status inilah yang banyak tidak diketahui oleh pelanggan PDAM dan masyakat luas lainnya sehingga kamipun sebenarnya sangat prihatin dengan kondisi bukan hanya di Kec. Serawai namun juga di Kec. Kayan Hulu, Kec. Kayan Hilir, kec. Dedai dan Ketungau Tengah. Hingga kini hanya Kec. Sepauk dan kec. ketungau Tengah yang masih beroperasi, itupun dengan kondisi yang sulit. Jangankan untuk lebih dari kondisi yang ada, sertifikat tanah lokasi PDAM saja tidak ada hingga kini. Inilah yang saya katakan sebagian kecil yang bisa saya sampaikan dari msh segudang persoalan di bidang air minum. Jika kita mau jujur dengan UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, ini sebenarnya menjadi tanggungjawab Pemerintah kalau kita di daerah yach...Pemda lah. Tapi ketika kita bandingkan dengan beberapa proyek yang sebenarnya tidak menyangkut hajat hidup orang banyak justru dibangun dengan biaya yang fantastis hanya demi gengsi (maaf silahkan anda pasti tahukan) apa yang saya maksud. Kami di PDAM mobil pengangkut minyak hanya semata wayang (Pickup buntau) mana ada perhatian Pemda untuk menggantinya (maaf saya bukan tipe pengemis) toh mata publik bisa melihat, namun disisi lain jika sedikit saja kekurangan kami dalam pelayanan air bukan main sumpah serapah pelanggan terhadap kami. Tapi kami yakin bahwa kita hidupkan seperti roda, ada saatnya diatas dan suatu saat akan dibawah. Tapi saya sarankan anda ketemu saya langsung biar lebih puas, ok, GBU.”
 __________________
Bagi yang ingin mendapatkan informasi lebih lanjut dapat menghubungi beliau via facebook (Gana Suka) dan BlackBerry Messenger  2820EA84

Read more »

Selasa, 15 November 2011

Dilema Pasar Serawai

* Pasar Serawai, 10 tahun yang lalu dan sekarang kondisinya tetap sama mungkin hanya sedikit hal yang berubah dari pasar serawai. Foto di samping ini menampilkan lanting-lanting terapung di pasar serawai. Jika kita berkunjung ke pastoran Serawai, di situ ada foto-foto lawas yang menampilkan wajah lanting-lanting terapung di Kecamatan Serawai dan faktanya kondisinya tetap sama. 






* Foto di samping ini menampilkan kondisi pasar serawai yang longsor karena banjir. Saat ini jarak antara ruko dan bibir pantai kurang lebih satu meter. 

Pasar Serawai merupakan nadi perekonomian di Kecamatan serawai. Pasar Serawai ini sudah menjadi sentral masyarakat serawai sejak lama. Warga-warga dari kampung dan desa sekitar sering berbelanja di pasar ini. Bisa dibayangkan kondisi pasar yang tidak proporsional ini tetap digunakan meskipun kondisi tersebut bisa sewaktu-waktu mengancam keselamatan masyarakat Serawai.   
* Foto ini menampilkan dermaga di Kecamatan serawai yang belum selesai alias terlantar. perlu untuk diketahui proyek pembangunan dermaga ini dimulai sejak 2008 lalu.  

Kita mengharapkan adanya tindak lanjut dari pemerintah terhadap permasalahan Pasar Serawai ini. Selain itu, kita sebagai warga Serawai dituntut turut memikirkan solusi terhadap Pasar Serawai. Semoga!

Read more »

Geliat Sawit di Kecamatan Serawai-Ambalau dan Respon Para Pemuda


Bicara mengenai sawit sepertinya agak tendensi bagi masyarakat di Kecamatan Serawai-Ambalau. Hal ini dikarenakan masyarakat adat setempat menolak kehadiran dari perusahaan sawit—PT Sinar Sawit Andalan dan PT Sumber Hasil Prima—yang menyatakan bahwa mereka sudah mengantongi Izin Lokasi dan Izin Usaha Perkebunan.
Dalam sebuah diskusi singkat di sebuah sosial media, Yohanes Onong berpendapat bahwa perkebunan sawit umpamanya sekeping uang logam. Dua sisi yang sama-sama diperlukan tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Kalau utuh, jadilah itu suatu nilai yang berguna.
Jika boleh diibaratkan buah kelapa sawit ini bagaikan buah simalakama. Di satu pihak kehadiran perusahaan sawit dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat di perkebunan sawit. Dengan masuknya perusahaan sawit otomatis akan membuka akses jalan yang selama ini menjadi permasalahan masyarakat di Kecamatan Serawai dan Ambalau. Dan di lain pihak, masuknya perusahaan sawit setelah perusahaan HPH akan merusak situs dan cagar alam di Kecamatan Serawai dan Ambalau. Selain itu ekspansi perusahaan yang berlebihan akan merusak alam yang selama ini menjadi “penghidupan” masyarakat adat di Kecamatan Serawai dan Ambalau. Selain kekhawatiran akan bencana yang timbul setelah itu, masyarakat di Kecamatan Serawai dan Ambalau sepertinya merasa “trauma” atas hal-hal yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan sawit. Jelasnya, masyarakat belum siap untuk kehilangan tanah dan masa depannya dengan cuma-cuma.

 “ Yang menjadi akar permasalahanya, ada beberapa oknum kades dan dan oknum lainya yang membantu pihak perusahaan untuk mendapatkan lahan dengan cara-cara yang tidak benar,” ungkap Bonivasius Tajan.

Keresahan masyarakat yang diamini juga oleh para intelektual di kedua kecamatan itu. Kecendrungan pihak perusahaan menggunakan pendekatan yang “agak memaksa” membuat masyarakat dan para intelektual menolak mentah-mentah kehadiran perusahaan sawit tersebut. Sementara pihak perusahaan tetap keukuh dengan izin yang telah mereka kantongi.

“Diperlukan pemikiran dan gerakan para kaum intelektual muda, dalam membantu masyarakat yang resah dengan adanya perusahaan tersebut,” ungkap Bonivasius Tajan.

“Lakukanah yang terbaik, salah satunya beri pemahaman kepada masyarakat kita, dampak baik buruknya perusahaan sawit bagi masyarakat kita dan yang paling utama kita jangan termakan isu dan mulut manis perusahaan dalam mengambil tanah kita,” lanjutnya.

Jika mau belajar dari pengalaman, persoalan jamak yang sering ditemukan ketika pemulaan ekspansi perusahaan sawit adalah sengketa tanah antara masyarakat dan perusahaan sawit. Hal ini dirasakan wajar karena warga yang sejatinya merasa memiliki tanah tersebut secara turun-temurun dipaksa untuk menyerahkan tanahnya secara cuma-cuma.

“ Sebelum hal buruk terjadi siapkan diri dan warga paling tidak memetakan wilayah pribadi, wilayah adat dan lain-lain,” ungkap Yohanes Onong.

“ Pemetaan ini menjadi tugas bersama warga, perangkat desa, perangkat adat, dan perangkat kecamatan bersama melakukan pemetaan paling tidak di SKT-kan.  Setelah jelas kepemilikannya, jika tetap digusur , we will fight!” lanjutnya.

Akhirnya kita berharap permasalahan seperti ini segera selesai. Diharapkan ada proses mediasi oleh pemerintah terhadap persoalan masyarakat dan perusahaan sawit. Kita sudah bosan melihat masyarakat yang kesusahan ini semakin terlindas oleh perusahaan-perusahaan yang tidak memihak dan tidak bertanggungjawab. Masyarakat Kecamatan Serawai-Ambalau hanya menginginkan hak mereka atas tanah mungkin tidak lebih dari itu. (*)

Read more »

Cagar Budaya: Batu Dara Muning




foto-foto cagar budaya Batu Dara Muning di Kecamatan Serawai.

Sumber foto: http://sintangonpic.blogspot.com/2008/06/batu-dara-muning.html

Read more »

Pembangunan di Serawai Ambalau Sintang Masih Minim

*Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Ali Anshori
TRIBUNNEWS.COM, SINTANG - Pemerintah Kabupaten Sintang dianggap melupakan wilayah Kecamatan Serawai Ambalau karena minimnya pembangunan di daerah itu.*

"Harusnya pemerintah memprioritaskan pembangunan kawasan terpencil, bukan hanya kawasan perbatasan saja. Lihat saja kawasan Serawai-Ambalau yang sampai saat ini masih terkesan sering dilupakan pemerintah,” kata mantan anggota DPRD Kalbar Mikail Mahin.

Hingga saat ini, katanya, Kecamatan Serawai Ambalau masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Sintang. Janji pemerintah untuk memprioritaskan pembangunan di kawasan Serawai-Ambalau hingga kini masih sebatas janji yang belum kunjung terealisasi.

“Termasuk janji pemerintah untuk membantu pembangunan rumah kumuh masyarakat Buntut Sabon Kecamatan Ambalau. Sampai saat ini hanya tinggal janji semata. Padahal tak hanya itu, masyarakat di sama kini terancam rawan pangan pangan. Namun belum ada tindakan berarti dari pemelrintah,” tuturnya.

Kurangnya perhatian yang diberikan pemerintah, dianggap Mikail, menunjukan kelemahan pemerintah mmengelola prioritas pembangunan. “Begitu ada masalah barulah ada tindakan, padahal persoalan pembangunan, bukan hanya perbatasan saja. Semua kecamatan pasti ada masalah,” ujarnya.

Pemerintah, katanya, tidak cukup hanya menyampaikan slogan begitu saja tanpa ada realisasi yang dirasakan masyarakat, sebab persoalan yang paling diinginkan masyarakat adalah adanya pembangunan yang mereka rasakan. “Sayangnya kini malah faktanya berbeda. Kepala daerah sering turun ke kampung saat kampanye. Saat itu sering diskusi dengan masyarakat. Namun selesai kampanye, selesai semua urusan,” katanya. (*)

sumber: http://id.berita.yahoo.com/pembangunan-di-serawai-ambalau-sintang-masih-minim-024721967.html

Read more »

Wabup Hadiri Pelantikan Pengurus DAD Kecamatan Serawai

Serawai - Setelah dilaksanakannya pemilihan pengurus Dewan Adat Dayak Kecamatan Serawai pada 24 September 2011 yang lalu dan terpilihnya Niko S Ahong sebagai ketua DAD Kecamatan Serawai periode 2011-2016. Pada Selasa, 25 Oktober 2011 di Gedung Serbaguna Kecamatan Serawai dilaksanakan pelantikan.

Wakil Ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Sintang Drs. Hatta, M. Si berpesan agar Ketua DAD Kecamatan Serawai yang baru agar langsung bekerja dengan merangkul semua elemen yang ada. “tantangan kedepan seperti kebodohan, kemiskinan, dan persoalan adat istiadat sudah menanti. Untuk itu kekompakan seluruh pengurus sangat penting. Berjuanglah untuk kepentingan rakyat banyak, kelola organisasi ini dengan baik sehingga memberikan manfaat bagi orang banyak dan mampu menjaga eksistensi adat kita disini” ajak Hatta.

Wakil Ketua DAD Kabupaten Sintang Drs. Hatta, M. Si mengingatkan Pengurus DAD Kecamatan Serawai periode 2011-2016 untuk tidak lupa lakukan koordinasi dengan baik dengan banyak pihak supaya perjalanan organisasi DAD Kecamatan Serawai bisa menjaga dan memperjuangkan kepentingan masyarakat Serawai.

Pelaksana Tugas Camat Serawai Astaman, S. Sos menuturkan bahwa pepatah hidup dikandung tanah, mati dikandung adat harus kita pegang teguh. “mari kita jaga kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga keharmonisan selalu bisa kita jaga bersama” ajak Astaman.

Wakil Bupati Sintang Drs. Ignasius Juan, M. Si meminta pengurus DAD Kecamatan Serawai untuk meminimalisir kesalahan penerapan adat dan kekurangan lainnya, sehingga adat kita semakin baik di masa depan. “adat yang kita lestarikan saat ini merupakan warisan nenek moyang kita dahulu yang mampu mengatur kehidupan suatu masyarakat sehingga tercipta suasana kehidupan yang lebih baik dan adanya sanksi bagi yang melanggar. Adat yang kita pegang memberikan batasan-batasan yang sudah disepakati oleh suatu masyarakat sehingga menjaga perilaku manusia. Bagi saya adat harus kita pertahankan dan lestarikan bahkan terus kita perkuat penerapannya. Dan itulah salah satu tugas pengurus Dewan Adat Dayak” tegas Wabup.

Menurut Wakil Bupati Sintang, pemangku adat ialah tumenggung yang berperan sebagai hakim dalam penerapan hukum adat yang bisa memberikan rasa adil dan bisa menjamin kepastian hukum. jangan salah gunakan adat kita. Dan berantas tumenggung jalanan” tegas Wabup.

Proses pelantikan sendiri diawali dengan sumpah secara adat Dayak Uut Danum yang dipandu oleh Ibu Haui. Kemudian dilanjutkan oleh pelantikan yang dilakukan oleh Wakil Ketua DAD Kabupaten Sintang Drs. Hatta, M. Si, penandatangan berita acara pelantikan dan penyerahan Surat Keputusan DAD Kabupaten Sintang Nomor 25/DAD/Stg-x/2011 tertanggal 23 Oktober 2011.

sumber: http://www.kalimantan-news.com/berita.php?idb=10532

Read more »

Geliat Gerbang Emas: Buka Akses Jalan Serawai-Ambalau Sintang –

Menginjak tahun kelima, roda Gerakan Membangun Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas) melalui program jalan, karet, tanaman pangan, kesehatan, dan pendidikan dijalankan dengan optimal. Program ini pun telah banyak membawa perubahan yang signifikan bagi masyarakat Bumi Dara Juanti hingga ke pelosok.

“Kita terus membuka isolasi daerah. Tujuannya, agar akses transportasi masyarakat menjadi semakin lancar dan tidak terpuruk,” tegas Bupati Sintang, Drs Milton Crosby MSi, dalam berbagai kesempatan.

Bayangkan saja, dari tahun ke tahun contohnya Kecamatan Serawai terbilang terpuruk dan terisolasi akses transportasi. Hanya mengandalkan jalur Sungai Melawi. Tapi, kini jalur darat sudah bisa dilalui, meski belum terbilang representatif. Namun sudah membuka keterbelakangan masyarakat dari segi akses transportasi.

Bukan itu saja, tahun ini Drs Milton Crosby MSi, Bupati Sintang, selaku incumbent pada Pemilukada Sintang, digeber pada Kamis (19/5) mendatang, telah menganggarkan untuk pembukaan jalan baru Serawai-Kemangai yang merupakan pusat kota Kecamatan Ambalau, berada paling ujung di jalur Sungai Melawi.

Tekad orang nomor satu di Bumi Dara Juanti ini patut mendapatkan dukungan. Soalnya, jika jalur darat sudah bisa diakses, maka biaya transportasi masyarakat setempat jauh lebih irit dan lebih lancar.

Selain itu, angkutan sembilan bahan pokok (sembako) akan semakin terkendali dan aktivitas masyarakat menjadi semakin lancar.

“Jalan ke Serawai sudah bisa dilalui. Nah, sekarang kita membuka akses jalan dari Serawai menuju Kecamatan Ambalau. Ini medannya cukup berat, tapi dengan tekad niat untuk membangun, saya yakin akan berhasil dengan maksimal dan optimal,” paparnya.

Untuk jalur darat menuju Kecamatan Serawai, ulas Milton, sebelumnya tidak bisa dilalui sama sekali. Tetapi sekarang, bahkan mobil dinas bupati bisa parkir di depan tangga rumah warga. Untuk pemeliharaan dan perbaikan ruas jalan itu, Milton telah membentuk Unit Pemeliharaan Jalan dan Jembatan (UPJJ).

“Meski belum bagus benar, sekarang mobil bupati sudah bisa sampai ke tangga warga. Nah, pemeliharaannya, kita siagakan UPJJ. Ini yang mengurusi ruas jalan tersebut,” jelasnya.

Selain itu, kata Milton, demikian pula dengan akses jalan darat menuju ke desa-desa dan dusun-dusun, semuanya telah diakomodasi. Minimal dilaksanakan pembukaan ruas jalan dulu, selanjutnya akan kita laksanakan peningkatan.

Di samping itu, untuk jalan lingkungan pemukiman, boleh dikatakan tak ada lagi kawasan pemukiman warga masyarakat yang tidak kecipratan jalan rabat beton.

“Semuanya telah kita akomodasi. Hanya saja, karena keterbatasan dana, maka lebih mengutamakan skala prioritas. Tapi saya rasa, hampir keseluruhan akses jalan sudah terbuka. Bahkan, demikian pula dengan jalan lingkungan tempat tinggal warga,” pungkasnya. (SrY/biz)

Sumber: http://www.equator-news.com/radar-timur/sintang/20100501/buka-akses-jalan-serawai-ambalau

Read more »

Perbaikan Infrastruktur Serawai-Ambalau jadi Prioritas

SINTANG--Anggota DPRD Kabupaten Sintang Genedie, mengatakan perbaikan infrastruktur jalan menuju kecamatan di wilayah paling ujung Kabupaten Sintang menjadi skala prioritas di tahun 2011. Sebab, berdasarkan keputusan yang dikeluarkan Gubernur Kalbar, status jalan Sintang-Kecamatan Serawai merupakan tanggung jawab provinsi, sedangkan Serawai-Ambalau merupakan jalan kabupaten.

“Tahun ini recananya akan dilakukan perbaikan, terutama jembatannya yang banyak rusak, serta kondisi jalan yang berlumpur bila terjadi hujan, karena drainasenya juga kurang baik dan menyebabkan air mengapung dalam waktu yang lama, sehingga menyulitkan masyarakat Serawai maupun Ambalau untuk menggunakan jalur darat dalam hal transportasi,” ungkap Genedie. Menurut Genedie, perbaikan tersebut merupakan upaya anggota DPRD Kabupaten Sintang untuk merubah kecamatan di ujung Kabupaten Sintang ini tidak terisolir. Karena apabila dilihat dari status kecamatan di Kabupaten Sintang, maka Ambalau merupkan kecamatan yang paling lama terbentuk, dibandingkan kecamatan lainnya. “Ambalau merupakan Kecamatan Senior. Jadi seharusnya menjadi prioritas dalam perbaikan infrastrukturnya, sehingga memudahkan masyarakat dalam mobilitasnya,” ujar dia.

Dia mengatakan, dengan perbaikan tersebut, maka selain akses yang mudah, juga berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Selama ini, dengan akses utama menuju Serawai dan Ambalau menggunakan jalur sungai, sehingga memerlukan biaya yang besar. Meskipun ada jalur darat, namun dengan kondisi yang saat in, tidak memungkinkan untuk dilakukan pengangkutan barang dalam jumlah yang besar. “Hal inilah yang membuat harga barang di sana melambung, karena untuk membawanya saja memerlukan biaya yang besar dan memakan waktu lama. Namun kalau akses darat sudah dapat dilalui, maka waktu tempuh dapat dipersingkat dan tidak memerlukan waktu yang lama,” jelasnya.(wah)


Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=89772

Read more »

Senin, 14 November 2011

Wabup Buka POR SMP/MTS Sub Rayon 5 Serawai

Sintang-SERAWAI, (kalimantan-news) - Mempersiapkan generasi muda yang handal dan mempunyai daya saing yang tangguh sangat penting untuk terus menerus dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan memperbaiki kualitas fisik dan mental kaum muda khususnya para pelajar melaui kegiatan olahraga. Demikian diungkapkan Wakil Bupati Sintang Drs. Ignasius Juan, MM saat membuka Pekan Olah Raga Tingkat SMP/MTS Sub Rayon 5 Serawai di Halaman SMP Negeri 1 Nanga Serawai pada Senin, 24 Oktober 2011.

“generasi muda dikatakan masa depan masa bangsa dan masa depan bangsa harus kita persiapkan mulai dari sekarang sehingga masa depan bangsa kita akan semakin baik. Mempersiapkan generasi muda tidak hanya dijejali dengan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga fisik yang tangguh. Untuk itu saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada panitia yang sudah menyelenggarakan kegiatan ini sehingga bisa mempersiapkan diri guna mengikuti pertandingan pada level Kabupaten di Kota Sintang nantinya” jelas Wabup.

“kepada seluruh peserta, official dan dewan juri saya minta untuk bersama-sama menjunjung tinggi sportifitas dalam menjalankan kegiatan ini. Saya ingin disiplin yang tinggi dari para pelajar dan atlet, untuk terus dibangun dan dibina untuk mencapai suatu keberhasilan” tambah Wabup.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sintang Fransiskus Mikael Mahin mengharapkan seluruh sekolah yang ada untuk terus mengembangkan diri dari berbagai aspek yang menunjang prestasi sekolah. “pendidikan karakter dengan 18 nilai yang diajarkan hendaknya terus digalakan. Dinas Pendidikan sangat berkomitmen dengan pengembangan prestasi pelajar di bidang olahraga dan seni. Salah satu nilai yang sangat penting ialah kejujuran, untuk itu bertandinglah dengan jujur”ajak FM Mahin.

Ketua Panitia Kornelius Ngawan. S.Ag. menjelaskan tujuan dilaksanakannya Pekan Olah Raga ialah untuk pembinaan olahraga dikalangan siswa peningkatan kualitas pemuda dan olahraga, menjalin ikatan kekeluargaan dan kebersamaan sesama pelajar dan guru antar SMP di Kecamatan Serawai dan Ambalau, meningkatkan minat siswa pada olahraga, dan mencari atlet berprestasi.

“Jenis olahraga yang akan dipertandingkan antara lain sepakbola putra, voli putra dan putri. tenis meja putra dan putri. Lari 100 meter, 400 meter dan 1200 meter, tolak peluru putra dan putri, sepak takraw putra, badminton putra dan putrid, tenis meja putra dan putrid, lompat jauh dan lompat tinggi. POR Tahun 2011 ini memperebutkan 72 kejuaraan dan melibatkan 499 orang atlet dan 79 official yang berasal dari 9 SLTP Negeri dan Swasta serta satu MTS Nurul Hikmah Nanga Serawai. Kami juga akan mengadakan pentas kreasi seni. Dan akan ditutup dengan Upacara Bendera memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2011. Pelaksanaan POR SMP/MTS Tahun 2011 dipusatkan di SMPN 1 Nanga Serawai mulai 24-29 Oktober 2011. Kami sudah menyiapkan 24 buah piala dan 24 medali serta 1 piala juara umum.

Usai acara pembukaan, Wabup melepas pawai 1000 pelajar yang mengelilingi Kota Nanga Serawai. Hadir dalam acara tersebut Wakil Ketua TP PKK Kabupaten Sintang Ny. Katarina, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sintang Gregorius Igo, ST, PLT Kadis Pendidikan Drs. F. Mikael Mahin, dewan guru, kepala sekolah, peserta dan official, serta para pelajar di Nanga Serawai.



www.kalimantan-news.com

Read more »

Sejarah Kesultanan Sintang ( Aji Melayu ) Oleh Ferdinan Milyardi

1. Sejarah



Data tentang kapan Kesultanan Sintang berdiri belum ditemukan secara pasti. Diprediksikan, kesultanan ini merupakan kelanjutan dari masa Kerajaan Sintang yang sejak berdirinya masih dipengaruhi oleh agama Hindu. Berikut ini dikemukakan terlebih dahulu masa Kerajaan Sintang Hindu.



1. 1. Masa Kerajaan Sintang Hindu



Kerajaan ini diperkirakan awalnya terletak di Desa Tabelian Nanga Sepauk, berjarak sekitar 50 km dari Kota Sintang (saat ini). Bukti sejarah berdirinya kerajaan ini dapat ditelusuri melalui sejumlah benda peninggalan sejarah. Sebuah patung yang menyerupai Siwa ditemukan di Desa Temian Empakan, Kecamatan Sepauk. Patung ini mempunyai empat tangan yang terbuat dari perunggu. Di samping itu, juga ditemukan Batu Lingga dan Joni yang bergambar Mahadewa di Desa Tabelian Nanga Sepauk (masyarakat menyebutnya dengan nama lain, Batu Kalbut). Di desa yang sama, ditemukan batu yang menyerupai b*** (sensored) atau lembu, beberapa kapak batu, dan makam Aji Melayu.



Aji Melayu diperkirakan merupakan nenek moyang raja-raja atau sultan-sultan di Kesultanan Sintang. Tidak ada banyak data yang mengungkap tentang asal-usul siapa sebenarnya Aji Melayu itu. Ada sumber yang menyebutkan bahwa ia merupakan penyebar agama Hindu dari Tanah Balang (Semenanjung Malaka) ke Sepauk. Awalnya, ia menetap di Kunjau, dan kemudian pindah ke Desa Tabelian Nanga Sepauk hingga akhir hayatnya. Ia menikah dengan Putung Kempat, dan dikaruniai seorang putra, Dayang Lengkong.



Dayang Lengkong memiliki garis keturunan yang merupakan para pewaris tahta kekuasaan di Kesultanan Sintang berikutnya, yaitu: Dayang Randong ? Abang Panjang (Pencin) ? Demong Karang ? Pati Kara ? Demang Minyak (Macak) ? Senari ? Hasan ? Demang Irawan (Jubair Irawan I) ? Dara Juanti.



Pada abad ke-XIII, Demang Irawan memindahkan pusat kesultanan ke Senatang, terletak di persimpangan antara Sungai Melawi dan Sungai Kapuas. Nama Senatang ini lambat-laun lebih dikenal dengan sebutan Sintang. Sebenarnya, penggunaan nama Sintang (Senatang) mulai berlaku sejak zaman pemerintahan Demang Irawan. Pada masa ini, wilayah Kesultanan Sintang mencakup Sepauk dan Tempunak.



Setelah Demang Irawan wafat, tahta kekuasaan dipegang oleh Dara Juanti. Dara Juanti menikah dengan Patih Lugener yang berasal dari Tanah Jawa. Dara Juanti tidak memiliki keturunan (anak). Pada masa pemerintahan Dara Juanti, Kesultanan Sintang pernah mengalami masa kemajuan dan kemakmuran. Karena tidak memiliki anak, sepeninggalan Dara Juanti, tahta kekuasaan Sintang kemudian dipegang oleh Abang Samad sekitar pada tahun 1640 M. Abang Samad merupakan anak angkat dari Dara Juanti.



Setelah Abang Samad, tampuk pimpinan Kesultanan Sintang dipegang secara berturut-turut oleh: Jubair Irawan II ? Abang Suruh ? Abang Tembilang (Abang Pencin) yang bergelar Pangeran Agung. Abang Tembilang merupakan penguasa terakhir di Kerajaan Sintang Hindu. Ia juga merupakan raja yang menganut Islam pertama kali di Sintang. Masa pemerintahan Abang Tembilang dapat dikatakan sebagai babak baru masa Kesultanan Sintang Islam.



1. 2. Masa Kesultanan Sintang Islam



Setelah Abang Tembilang meninggal, tahta kekuasaan di Kesultanan Sintang dipegang oleh putranya, Abang Tunggal dengan gelar Pangeran Tunggal. Sebelum meninggal, Pangeran Tunggal pernah berwasiat agar Abang Nata menggantikan dirinya. Abang Nata merupakan anak dari kakak perempuan Pangeran Tunggal, Nyai Cili, yang menikah dengan Mangkunegaran Malik.



Pangeran Tunggal sebenarnya memiliki dua orang putra, yaitu Pangeran Purba dan Abang Itut. Namun, Pangeran Purba telah menikah dengan putri dari Sultan Nanga Mengkiang dan kemudian menetap selamanya di sana. Sementara itu, Abang Nata masih berumur 10 tahun. Oleh karena kondisi semacam ini, Pangeran Tunggal melakukan sebuah cara, yaitu menunjuk dua orang menteri, Pangeran Dipati dan Sina Pati Laket. Setelah dewasa, Abang Nata mulai memimpin Kesultanan Sintang. Ia bergelar Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa‘adul Khairi Waddin. Ia merupakan pemimpin pertama di Sintang yang menggunakan gelar sultan.



Pada masa pemerintahan Abang Nata, banyak terjadi kemajuan di Kesultanan Sintang. Pada masa ini, mulai dibangun masjid pertama kali yang letaknya di ibu kota kesultanan, meski hanya dengan kapasitas 50 orang. Pada masa ini pula, wilayah kekuasaan Sintang meluas hingga ke daerah Ketungau Hilir dan Ketungau Hulu, hingga ke daerah perbatasan Serawak, Kalimantan Tengah, dan Melawi. Di samping mengalami kemajuan secara fisik, ada sejumlah keputusan penting terkait dengan Kesultanan Sintang yang ditetapkan dalam sebuah rapat, yaitu:



1. Ditetapkannya Sintang sebagai Kesultanan Islam

2. Pemimpin Kesultanan Sintang bergelar Sultan

3. Disusunnya Undang-undang Kesultanan yang terdiri dari 32 pasal

4. Didirikannya masjid sebagai tempat ibadah

5. Dibangunnnya istana kesultanan



Sultan Nata menikah dengan Putri Dayang Mas Kuma, putri dari Sultan Sanggau. Dari hasil pernikahan ini, Sultan Nata dikaruniai seorang putra, Adi Abdurrahman.



Sultan Nata meninggal pada tahun 1150 H, dan dimakamkan di Kampung Sungai Durian Sintang. Putranya, Adi Abdurrahman kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin (Sultan Abdurrahman) atau dengan sebutan lain, Sultan Pikai.



Sultan Abdurrahman menikah dengan Utin Purwa, putri Sultan Sanggau. Mereka dikaruniai dua orang anak, Raden Machmud dan Adi Abdurrosyid. Sultan Abdurrahman menikah lagi (tidak diketahui identitasnya), yang kemudian dikaruniai seorang putra bernama Abang Tole. Setelah Sultan Abdurrahman meninggal, tahta kekuasaan Sintang dipegang oleh putranya, Adi Abdurrosyid dengan gelar Sultan Abdurrosyid. Sementara itu, anaknya yang lain, Raden Machmud diangkat sebagai seorang mangkubumi.



Pada masa Sultan Abdurrosyid, dibangun sebuah masjid baru yang menggantikan masjid lama. Ia tidak lama berkuasa karena jatuh sakit. Pada tahun 1210 H, ia meninggal, dan dimakamkan di Kampung Sungai Durian Sintang. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Ade Noh dengan gelar Pangeran Ratu Ahmad Komaruddin. Pada masa pemerintahan Sultan Ade Noh, sejumlah rombongan asal Belanda datang pertama kali ke Sintang, tepatnya pada bulan Juli 1822 M, yang dipimpin oleh Mr. J.H. Tobias, seorang Komisaris dari Kust van Borneo.



Pada bulan November tahun yang sama, Sultan Ade Noh meninggal dunia karena sakit parah. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Gusti Muhammad Yasin dengan gelar Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin. Pada bulan ini, datang rombongan Belanda yang kedua, di bawah pimpinan Dj. van Dungen Gronovius dan Cf. Golman, dua pejabat tinggi, yang ditemani oleh Pangeran Bendahara Pontianak, Syarif Ahmad Alkadrie, sebagai juru bicara.



Misi Belanda tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan dan kerja sama dagang, yang tertuang dalam Voorlooping Contract (Kontrak Sementara). Kontrak ini ditandatangani pada tanggal 2 Desember 1822 M. setelah itu, muncul beberapa perjanjian lainnya (1823, 1832, 1847, 1855). Secara umum, perjanjian-perjanjian tersebut lebih banyak menguntungkan pihak Belanda untuk melakukan intervensi terhadap pemerintahan dalam negeri Kesultanan Sintang. Alhasil, intervensi tersebut berdampak negatif terhadap masa depan pemerintahan Kesultanan Sintang.



Pada tahun 1855 M, Pangeran Adipati meninggal dunia. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Adi Abdurrasyid Kesuma Negara dengar gelar Panembahan Abdurrasyid. Setelah Panembahan Abdurrasyid meninggal, tahta kekuasaan dipegang oleh Panembahan Ismail. Setelah Panembahan Ismail meninggal, tahta kekuasaan dipegang oleh anaknya, Gusti Abdul Majid dengan gelar Panembahan Abdul Majid Pangeran Ratu Kesuma. Gusti Abdul Majid ditangkap dan dibuang ke Jawa oleh Belanda karena dituduh tidak mau membantu Belanda dalam menyerang pasukan Panggi. Meski demikian, Gusti Abdul Majid bisa kembali ke Sintang pada masa pra-kemerdekaan Republik Indonesia.



Sebenarnya, sejak dibuang ke Jawa, tahta kekuasaan Sintang dipegang oleh wakil sultan yang bernama Abdul Muhammad Djun. Sejak saat itu, sistem pemerintahan Kesultanan Sintang sepenuhnya berada di bawah kontrol kekuasaan kolonial Belanda.



2. Silsilah



Berikut ini adalah silsilah sultan-sultan yang berkuasa di Kesultanan Sintang, yang dirunut sejak masa Kerajaan Sintang Hindu:



1. Dayang Lengkong

2. Abang Panjang (Pencin)

3. Demong Karang

4. Pati Kara

5. Demang Minyak (Macak)

6. Senari

7. Hasan

8. Demang Irawan (Jubair Irawan I)

9. Dara Juanti

10. Abang Samad

11. Jubair Irawan II

12. Abang Suruh

13. Abang Tembilang (Abang Pencin) yang bergelar Pangeran Agung

14. Abang Tunggal dengan gelar Pangeran Tunggal

15. Abang Nata (Sultan Nata)

16. Adi Abdurrahman (Sultan Abdurrahman)

17. Adi Abdurrosyid (Sultan Abdurrosyid)

18. Ade Noh (Pangeran Ratu Ahmad Komaruddin)

19. Gusti Muhammad Yasin (Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin)

20. Adi Abdurrasyid Kesuma Negara (Panembahan Abdurrasyid)

21. Panembahan Ismail

22. Gusti Abdul Majid (Panembahan Abdul Majid Pangeran Ratu Kesuma)

23. Abdul Muhammad Djun



3. Periode Pemerintahan



Sejarah kapan berdirinya Kesultanan Sintang tidak diketahui datanya secara pasti, sehingga belum dapat diprediksikan sudah berapa lama kesultanan ini berdiri. Kesultanan Sintang merupakan satu-satunya kesultanan di Kabupaten Sintang yang masih eksis hingga akhirnya “bubar” pada tanggal 1 April 1960 M. Sejak tahun 1966, Sintang merupakan Daerah Tingkat II (Kabupaten) di Provinsi Kalimantan Barat. Ibu kotanya adalah Sintang (tentang sistem pemerintahan dibahas pada bagian tersendiri).



4. Wilayah Kekuasaan



Luas wilayah Sintang adalah 32.279 km², yang mencakup daerah-daerah yang kini dikenal sebagai: Ambalau, Bijai Hulu, Dedai, Kayan Hilir, Kayan Hulu, Kelam Permai, Ketungau Hilir, Ketungau Hulu, Ketungau Tengah, Sei Tebelian (Sungai Tebelian), Sepauk, Serawai, Sintang, dan Tempunak (wilayah ini merupakan Sintang pada masa modern).



5. Struktur Pemerintahan



Tidak banyak data yang bisa diungkap tentang struktur pemerintahan Kesultanan Sintang. Berikut ini adalah data sistem pemerintahan Sintang pada masa kolonial dan awal kemerdekaan RI.



Pada masa penjajahan Belanda (sekitar tahun 1936), Sintang merupakan daerah landschop yang berada di bawah pemerintahan Gouvernement. Daerah landschop terbagi ke dalam empat onderafdeling yang dipimpin oleh seorang controler, yaitu:



1. Onderafdeling Sintang, yang berkedudukan di Sintang

2. Onderafdeling Melawi, yang berkedudukan di Nanga Pinoh

3. Onderafdeling Semitau, yang berkedudukan di Semitau

4. Onderafdeling Boeven Kapuas, yang berkedudukan di Putussibau



Pemerintahan model landschop tersebut berakhir pada tahun 1942 ketika Jepang mulai menjajah Indonesia. Pada masa ini, secara umum, sistem pemerintahan tidak mengalami perubahan, hanya pada sebutan nama wilayah saja: kepala negara disebut Kenkarikan (sekarang setara dengan bupati), wakil kepala negara disebut Bunkenkarikan, di setiap kecamatan diangkat seorang Gunco (kepala daerah).



Setelah Belanda mengakui kedaulatan RI, salah satu kekuasaan Belanda di Sintang, yaitu Afdeling Sintang, diubah menjadi Kabupaten Sintang. Demikian pula terjadi perubahan-perubahan lain: onderafdeling diubah menjadi kewedanan, distric diganti dengan kecamatan, jabatan residen diubah menjadi bupati, kepala distrik diganti menjadi camat.



Sebagai upaya untuk melaksanakan Undang-undang (UU) No. 3 tahun 1953, UU No. 25 tahun 1956 dan UU No. 4 tahun 1956 tentang pembentukan DPR dan DPR Peralihan, maka pada tanggal 27 Oktober 1956 dilantik keanggotaan DPR Peralihan. Sesuai Keppres No. 6 tahun 1959 tanggal 6 November 1959, asas dekonsentrasi dan desentralisasi mulai diterapkan, dengan berperannya bupati sebagai kepala daerah dalam satu tangan, yang dibantu oleh Badan Pemerintahan Harian. Hal itu diatur lebih lanjut dalam UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Sesuai Instruksi Mendagri No. 3 Tahun 1966, tanggal 1 Februari 1966, sistem pemerintahan di Sintang sudah disempurnakan yang disesuaikan dengan daerah-daerah di seluruh Indonesia.



Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sintang No. 14 Tahun 2000, pemerintahan Kabupaten Sintang dibagi menjadi 21 kecamatan. Setelah adanya UU No. 43 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Melawi (yang awalnya menjadi bagian dari Sintang), jumlah kecamatan Sintang menjadi 20. Pada tahun 2005, jumlah kecamatan di Sintang berkurang menjadi 14, yang dibagi menjadi 6 kelurahan dan 183 desa (berlaku hingga kini).



6. Kehidupan Sosial-Budaya



Menurut sejarahnya, masyarakat asli Sintang dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu masyarakat dengan tradisi dan adat istiadat Suku Melayu dan masyarakat dengan tradisi dan adat istiadat Suku Dayak. Kedua masyarakat ini tumbuh dan berkembang dalam kondisi wilayah yang memang berbeda. Masyarakat Suku Melayu lebih suka mendiami daerah-daerah di pesisir Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Mereka sangat bergantung pada sumber daya alam kedua sungai yang sangat penting itu, termasuk hubungan dagang yang terjadi di antara kedua sungai tersebut. Mereka juga sangat memegang teguh keyakinan dan ajaran Islam. Sehingga, kebudayaan yang berkembang adalah kebudayaan dalam bingkai Islam.



Sebagai sedikit informasi, Islam masuk ke Sintang pertama kali dan secara resmi pada masa pemerintahan Pangeran Agung (Abang Encin). Karena diterima baik oleh masyarakat Sintang, maka Islam makin berkembang pesat di wilayah Sintang. Pihak kesultanan pun memberikan apresiasi terhadap perkembangan ini. Terbukti, Pangeran Agung mulai memeluk Islam dan beberapa simbol Islam mulai bertebaran di mana-mana, misalnya dalam arsitektur masjid dan event-event kebudayaan.



Sementara itu, masyarakat Suku Dayak lebih suka mendiami daerah-daerah pedalaman di hutan Sintang. Mereka bergantung sepenuhnya pada sumber daya alam yang ada di hutan. Bahkan, kondisi geografis itu mempengaruhi cara hidup mereka. Masyarakat Suku Dayak memegang teguh keyakinan pada kepercayaan animisme dan ajaran-ajaran nenek moyang mereka.



Meski berada pada kubu yang berbeda, kedua suku tersebut masih bisa berakulturasi, baik dalam hal tradisi, adat-istiadat, dan lain sebagainya. Bentuk akulturasinya dapat berupa eklektik ataupun sinkretik.



Secara umum, tradisi di Sintang pada masa kini banyak dipengaruhi oleh tradisi Melayu. Tradisi dan adat istiadat Melayu yang berlaku di masyarakat Sintang banyak dipengaruhi oleh ajaran dan tradisi istana Kesultanan Sintang yang sejak dahulu dikenal kuat berpegang teguh pada ajaran Islam. (HS/sej/47/05-08).



Sumber



1. “Kabupaten Sintang”, dalam http://www.id.wikipedia.org/wiki/Sintang --> diakses tanggal 7 Mei 2008.

2. “Sejarah Sintang”, dalam http://www.sintang.go.id/selayangpandang/default.asp?topicId=1 --> diakses tanggal 7 Mei 2008.

3. Wibowo, Taufik. t.th. “Kesultanan Sintang”, dalam Istana-istana di Kalimantan Barat.

4. http://melayuonline.com/history/?a=b1R1L29QTS9VenVwRnRCb20%3D=&l=kesultanan-sintang

Read more »