Senin, 28 November 2011

Menilai Kebun Sawit dengan Benar (3/3)

Keuntungan hutan yang dilestarikan tiga kali lahan sawit

Dalam skema penghitungan karbon sesuai REDD+, tiap hektare hutan "bernilai" hingga 22.090 dolar Amerika Serikat. Kesepakatan dalam mekanisme REDD+, satu hektare hutan mengandung harga karbon antara 7.420 dan 22.090 dolar Amerika Serikat.

Dalam Konvensi Iklim PBB, pemerintahan negara-negara di dunia telah menegosiasikan mekanisme pembayaran REDD+ dengan kegiatan tambahan bagi hutan yang didedikasikan mengurangi laju deforestasi pada 2020 hingga separuh dari yang berjadi saat ini.

UNEP memperkirakan pada saat ini, hampir 18 persen dari efek gas rumah kaca dunia setara dengan 6 giga ton dari karbondioksida. Penyumbang terbesar adalah penggundulan hutan dan lahan (deforestasi), pembakaran sumber energi, dan sektor transportasi.

Terkait dengan pendapatan dari sawit, memang menghitung keuntungan ekonomi dari kelapa sawit dengan rumus dan teori apapun dalam konteks pencadangan sumberdaya alam, tetap akan memperlihatkan nilai kerugian yang lebih besar. Belum ada contoh nyata di Indonesia bahwa orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan sawit itu hidup makmur. Yang terjadi justru dililit utang bank sampai masa akhir HGU perkebunan sawit. Kerugian secara ekonomis pada alam juga menunjukkan bahwa rehabilitasi kehancuran alam secara alami tidak masuk dalam mekanisme pasar perdagangan CPO. Ini menandakan bahwa, cadangan sumberdaya alam yang mampu disediakan oleh alam, tidak akan pernah mampu untuk memenuhi kebutuhan pasar, jika tidak dikelola secara arif dan bijak. Kemampuan produksi alam, tetap tidak akan pernah berjalan sesuai dengan tuntutan pasar. Tetapi tuntutan pasarlah yang akan menggiring perluasan eksplotasi sumberdaya alam sampai pada tingkat tertinggi, bahwa kerusakan alam menjadi catatan tersendiri selain kehilangan hak-hak dasar pemilik tanah adat sebelum dikuasakan secara paksa kepada perusahaan melalui campur tangan pemerintah, serta kemiskinan yang tidak termaafkan pula oleh pihak bank pemberi pinjaman modal usaha perkebunan sawit.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kaum environmentalisme, menghendaki penggunaan biofuel (minyak nabati) untuk menggantikan bahan bakar fosil (mineral dan galian), karena biofuel ramah lingkungan. Juga bahwa pasar minyak sawit mentah (crude palm oil) harganya sangat kompetitif di pasar dunia dibanding petroleum. Satu hektar kelapa sawit dapat menghasilkan 5.000 – 6.000 kg minyak mentah. Harga minyak ini mencapai lebih dari 400 USD per ton kubik atau sekitar 54 USD perbarel. Bandingkan dengan harga minyak mentah (petroleum) yang hanya mencapai 70 USD perbarel. Pada tingkat ASEAN, negara yang dapat menyaingi Indonesia (2,9 juta hektar) dalam minyak sawit hanya Malaysia (3,3 juta hektar) di tahun 2003. Namun, Malaysia bisa mengelola dan memanfaatkan hasil product lanjutan industri minyak sawit di negara sendiri sehingga keluarannya adalah bahan jadi siap konsumsi, sedangkan Indonesia masih terus menjual minyak mentah yang disebut CPO.

Nilai ekonomi yang besar dari produksi minyak mentah sawit, kemudian secara langsung menarik minat pemerintah untuk melakukan perluasan lahan perkebunan setelah harga bahan bakar fosil mengalami fluktuasi di tingkat pasar dunia. Tapi ironisnya wilayah-wilayah yang diperuntukan pemerintah untuk pengembangan tanaman ini adalah hutan konversi. Tentu saja peruntukan lahan dari pemerintah sangat menarik minat investor. Karena pada waktu pembukaan lahan, pihak perusahaan dapat langsung memanfaatkan kayu dengan cara mengurus izin pemanfaatan kayu – IPK dari Dinas Kehutanan. Perusahaan perkebunan justru mengeruk keuntungan untuk dirinya dari pemanfaatan hasil hutan kayu yang tidak terhitung dalam perjanjian baik dengan pemerintah maupun masyarakat pemilik hak adat atas tanah yang dikapling untuk perkebunan. Untuk menghidupi dan menjalankan aktifitas perusahaan pada tahap-tahap awal, perusahaan dengan strategi koperasi petani plasma, mendapatkan uang pinjaman modal usaha dari bank dengan menggadai sertifikat-sertifikat tanah milik masyarakat pengelola plasma. Beban utang pinjaman modal itu menjadi tanggungan petani plasma yang bersangkutan. Bahkan pemerintah juga membantu memfasilitasi proses-proses penipuan terhadap masyarakat adat pemilik tanah adat itu dengan memberikan izin perkebunan bagi investor yang sebenarnya bermodalkan penipuan terhadap masyarakat.

Dengan berasumsi pada mayoritas kebijakan pemerintah yang menguntungkan investor dari pada rakyatnya, kita dapat menggunakan daerah Kalimantan sebagai contoh pengelolaan perkebunan kelapa sawit: ”Dengan luasan kawasan hutan di Kalimantan Barat sekitar 14,694,302.180 ha yang menjadi andalan retribusi kehutanan di Kalimantan Barat, telah hilang dan habis digunakan sebagai perkebunan sawit yang luasan sekitar 7,067,711 ha. Dari data perkebunan sawit tahun 2005 yang berarti hilang sekitar 50% retribusi kehutanan. Dengan rata-rata perkebunan besar kelapa sawit menggunakan pola 7 (Inti/perusahaan) berbanding 3 (petani/plasma), maka luasan perkebunan sawit sekitar 7,067,711 ha yang dikuasai oleh perusahaan ialah sekitar 4,947,397.7 Ha, sedangkan pemilik petani seluas 2,120,313.3 ha. Dengan pola pembagian ini, banyak dari lahan plasma yang tidak diurus sendiri oleh petaninya dan juga tidak terurus oleh manajemen perusahaan, sehingga sawit milik plasma cenderung merupakan jenis tanaman seperti hutan liar kelapa sawit. Ini dikarenakan hasil panen yang diperoleh tidak mendapatkan keuntungan yang berarti bagi petani dengan pola yang diterapkan oleh perusahaan dan sistem perkreditan yang secara terus-menerus diumpan kepada petani (baik infrastruktur maupun kesuburan tanaman).

Sebuah hasil study dalam pergumulan panjang menyebutkan dampak negatif perkebunan sawit berdasarkan pengalaman-pengalaman pada daerah lain, antaranya :

1. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas, dan over loads konversi. Hilangnya keanekaragaman hayati akan menimbulkan kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.

2. Pembukaan lahan sering dilakukan dengan cara tebang habis dan land clering dengan cara pembakaran demi efisiensi biaya dan waktu

3. Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit. Dimana dalam satu hari satu pohon sawit menyerap 12 liter air (hasil penelitian Universitas Riau). Disamping itu, pertumbuhan kelapa sawit harus diransang dengan berbagai macam zat fertilizer seperti pestisida dan bahan kimia lainnya

4. Munculnya hama migran baru yang sangat ganas, karena jenis hama ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lain. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi

5. Pencemaran yang diakibatkan asap dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama

6. Terjadinya konflik horizontal dan vertikal akibat masalah perijinan lahan dari pemerintah dan status kuasa adat atas tanah

7. Praktek konversi hutan alam skala besar seringkali menjadi penyebab utama erosi, tanah longsor dan kelangkaan sumber air bersih.

Dari gambaran tersebut di atas, jelas berapa besar biaya yang seharusnya dicadangkan oleh suatu korporasi dan pemerintah untuk mengaktisipasi dampak-dampak negatif yang akan muncul, setelah mereka telah selesai menghitung pendapatan bersih dari nilai jual minyak sawit di pasar. Apakah masyarakat pribumi akan diuntungkan dengan pola plasma? Sedangkan untuk melakukan aktivitas perkebunan sawit memerlukan biaya dalam manajemen yang tinggi dan menggunakan teknologi genetika yang berpedoman pada sistem ’revolusi hijau’ tanaman.

Sumber:
World Growth (2011)
PanEco (2008)

*end*

0 komentar:

Posting Komentar