Kamis, 24 November 2011

Jeritan Hati

Ilustrasi
Saya adalah seorang mahasiswa, berasal dari Desa Mentajoi sebuah desa di pelosok sungai Tekungai anak sungai Serawai. Desa saya merupakan salah satu desa yang menjadi sentral operasi perusahaan  HPH yaitu PT. ALAS KUSUMA. Hal inilah yang menjadi keprihatinan saya, sehingga tergugah untuk membagikan pengalaman kepada para pengunjung blog Kec. Serawai. Dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan bagaimana masyarakat  desa saya tergiur dengan janji manis perusahaan HPH, yang pada akhirnya merasa dikecewakan. Harapan saya pengalaman ini bisa menjadi pertimbangan kita untuk berani menyuarakan penolakan perusahaan sawit yang saat ini sedang hangat-hangatnya diperbincangkan, terkhusus bagi kita yang katanya merupakan intelektual muda. Dari pengamatan saya, cara yang digunakan  perusahaan HPH dengan perusahaan Sawit untuk mengambil hati masyarakat pribumi tidak jauh berbeda yakni dengan mengumbar janji-janji manis.

PT Alas Kusuma merupakan salah satu PT yang bergerak di bidang perkayuan yang mulai beroperasi di Kecamatan Serawai khususnya di daerah Merako, Tontang, Mentajoi, dan desa-desa sekitar sejak tahun 1974. Baru-baru ini kepada masyarakat Desa Mentajoi khususnya, perusahaan ini menjanjikan untuk membangun Gereja dengan bahan bangunan seluruhnya dari kayu ulin dan sebuah jembatan. Janji ini di sampaikan kepada masyarakat untuk dapat beroperasi di Lahan baru, Lahan yang masih “Perawan”. Dengan segala keterbatasan pemikirannya masyarakat berhasil dibodohi perusahaan dengan hasil yang sangat mengecewakan. Gereja dibangun tidak sesuai dengan kesepakatan, begitu juga halnya dengan Jembatan. Lebih parah lagi Pembangunan Gereja dan Jembatan ini pun sepertinya dilakukan perusahaan dengan terpaksa. Karena janji ini baru dipenuhi setelah melalui diskusi-diskusi yang panjang, lebih picik-nya lagi perusahaan baru mau duduk berdiskusi dengan masyarakat setelah masyarakat menghentikan Operasi perusahaan, Bahasa trennya dalam masyarakat “Magar Jalan”.

Jauh sebelum ini, sebetulnya masyarakat sudah sering dibohongi oleh pihak perusahaan, namun karena cara licik yang digunakan perusahaan, ditambah lagi keterbatasan pemikiran masyarakat akhirnya masyarakat berhasil dibodohi. Misalnya, perusahaan menjanjikan untuk membangun asrama di kecamatan Serawai untuk anak-anak yang ingin bersekolah, penerangan (listrik), air Bersih, lowongan pekerjaan dll. Nyatanya hingga kini nyaris tidak ada satupun janji ditepati. Padahal lahan yang diminta perusahaan kini sudah hampir selesai digunduli, sementara janji tinggal janji. 

Belajar dari pengalaman desa saya, apakah kita percaya begitu saja dengan janji-janji manis perusahaan sawit dan membiarkan mereka beroperasi?. Saya berpendapat tidak akan jauh berbeda dengan Janji yang di tawarkan perusahaan HPH kepada desa saya. Diluar dampak-dampak yang ditimbulkan dari operasi perusahaan sawit ini, mari kita pertimbangankan tentang janji yang mereka tawarkan. 

Janji untuk membuka akses jalan, apakah sebanding dengan kerusakan hutan yang akan kita alami. Menurut saya akses jalan bisa kita dapatkan dengan cara lain, tanpa harus mengorbankan Kesuburan dan kekayaan alam kita. Caranya antara lain melalui pendidikan, fokus untuk mengembangkan pendidikan dan berikan kesempatan kepada anak-anak muda untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, agar kelak dapat bahu membahu memasuki dunia politik atau bidang-bidang lain untuk memperbaiki kebobrokan pemerintah yang terkesan pilih kasih. Dipulau Jawa misalnya, tidak ada lahan sawit, tetapi mereka memiliki jalan yang baik. Sementara di Kalimantan tidak ada akses jalan penghubung antar provinsi apalagi jalan kepelosok seperti Serawai dan daerah-daerah pelosok lainnya. 

Janji untuk menyediakan lowongan pekerjaan, Sumber daya manusia kita belum cukup mampu bersaing. Mungkin kita atau beberapa saudara kita bisa dipakai perusahaan dibeberapa departemen baik menjadi staf maupun pimpinan. Bagaimana dengan yang lainnya, apakah kita bisa tidur nyenyak menyaksikan saudara-saudara kita menjadi kuli sawit ditanahnya sendiri, sementara para pendatang menjadi raja. “Si Kuli adalah si Pemilik lahan” inilah kesimpulan dari berbagai kesaksian yang saya baca dari artikel-artikel tentang Perusahaan Sawit.

Untuk para pembaca tulisan ini, mari kita bahu membahu dengan cara-cara yang dapat kita lakukan untuk menyuarakan penolakan sawit. Meskipun pada saat ini perusahaan sawit sudah memulai beroperasi, apabila kita mau berusaha tidak ada kata terlambat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada beberapa oknum Kepala Desa sudah makan uang perusahaan dan memberikan tanda tangannnya yang sangat berharga itu dengan mengatasnamakan masyarakat bahwa masyarakat menerima sawit. Tapi yakinlah masyarakat sebenarnya memiliki hati nurani yang baik, jauh dilubuk hati mereka juga sama seperti kita yaitu tidak setuju dengan sawit. Permasalahannya adalah mereka masih memiliki banyak keterbatasan untuk menyuarakannya. 

Beberapa hal yang dapat kita lakukan adalah berikan pemahan kepada masyarakat untuk tidak menyerahkan lahannya kepada perusahaan, beri mereka keyakinan tentang dampak negatif sawit. Saya juga pernah mendapatkan curhatan seorang warga di Desa Tontang yang memiliki tanah cukup luas, bagaimana ngototnya orang-orang perusahaan menggoda masyarakat untuk menyerahkan tanahnya. Di akhir perbincangan Orang tersebut berkata seperti ini:

“Ihkam cok sokulah tuh noh cok kongarap kai juoi tuh rih, yarok taan kai titui ngolaban cok ihkai tuh holu poh karas huang kai nolak sawit hion ulun tapi yarok cok taan kai titui kesah ah bohkolo” .

Oleh: Albinus Marsudi (Jahpung)

5 komentar:

  • Jahpung AV says:
    25 November 2011 pukul 19.12

    APABILA ADA PIHAK YANG KOMPLAIN MENGENAI ISI TULISAN INI, SILAHKAN KONFIRMASI SAYA!!! THX.. MENGENAI BAHSA, STRUKTUR KALIMAT DAN TANDA BACA, SAYA PERSILAHKAN PENGELOLA BLOG UNTUK MENGEDIT, ASALKAN INTI PERMASALAH TIDAK BERUBAH..

  • rere says:
    25 November 2011 pukul 22.04

    wew krenn!ha
    tp itulah slah nya orng serawai ambalau mw ja di boong sma orng2 ng jlas..
    yg muda yg mlnjutkan..ttap smngat serawai ambalau..:D

  • Jahpung AV says:
    25 November 2011 pukul 22.34

    Dalam keadaan ini seperti ini kita ndk bisa menyalahkan masyarakat... kita tahu bahwa masyrakat masih "lugu" dengan keterbatasan2nya... tidakan jangka pendek,kita2 sebagai anak muda harus memberi pemahaman dan perlindungan dengan berbagai macam bentuk kontribusi yang dapat kita lakukan... Tindakan jangka panjangnya, kita harus menghilangkan keluguan ini dengan cara menuntut ilmu setinggi2nya supaya pihak luar atau pihak dalam yang berusahaa memanfaatkan keadaan ini tdak gampang merampas hak2 kita sebagai orang pribumi yang peduli akan kesuburan dan kekayaan alam kita

  • Bambang Sumantri, S.Kep.,Ns says:
    27 November 2011 pukul 03.35

    Setelah hutan rimba kita habis digusur, ditambah lagi dengan sawit sungguh ibarat diberi hati minta jantung. Dulu di Desa Menakon, untuk menyenangi hati masyarakat diberi penerang berupa listrik oleh Perusahaan. Setelah kayunya habis listriknya juga habis.

  • Hetty says:
    28 Maret 2012 pukul 08.03

    sy mendengar jeritan hati anda,,serasa hati sy teriris,,begitu banyak saudara-saudari kita yang menderita. aq ulun dayak Dayak Ot-Danum,,tuh arik,okak,minak mamak kuk unuk anai.sampai kapan kita harus begini.tlong kita putra-putra kec.serawai bergandengan tangan untuk masalah ini.kita sebagai mahasiswa harus membuka mata tentang masalah yang terjadi.

Posting Komentar