Rabu, 24 April 2013

UUD DANUM

Dayak Uud Danum merupakan salah satu subsuku Dayak yang bermukim di Kecamatan Ambalau dan Serawai, Kabupaten Sintang.

Kata uud danum sendiri bisa diartikan sebagai berikut. Uud artinya ‘bagian hulu dari sebuah sungai’, tetapi Uud bisa juga dikonotasikan sebagai ‘suku’. Hal ini bisa dibuktikan jika kita menyebutkan orang lain seperti Uud Mosiou, Uud Hobukot, Uud Bohokam, dan Uud Mindap yang kesemuanya untuk menyatakan orang atau suku. Sedangkan danum adalah ‘air’ ataupun bisa juga diartikan sebagai ‘sungai’. Jadi secara harafiah kata Uud Danum berarti ‘hulu sungai’. Dengan demikian, Dayak Uud Danum bisa ditafsirkan sebagai orang-orang dayak yang tinggal di daerah hulu sungai.

Orang Uud Danum di Kecamatan Ambalau dan Serawai memiliki adat-istiadat yang hamper sama. Namun demikian, jika dilihat dari aspek kebahasaannya, tampak ada perbedaan. Berdasarkan perbedaan itu terdapat dua kelompok orang Uud Danum, yaitu orang Cihie dan Dohoi. Berikut ini adalah paparan kedua kelompok tersebut.

CIHIE

Bahasa Cihie Uud Danum adalah bahasa yang digunakan oleh sekelompok orang dayak yang menamakan dirinya orang Cihie atau subsuku Dayak Cihie dan mereka bermukim di dalam Sungai Serawai. Bahasa Ini tidak jauh berbeda dengan bahasa Dohoi Uud Danum. Perbedaannya hanya pada beberapa kosakata tertentu dan logatnya saja.

Di dalam buku-buku atau keterangan yang sudah pernah diterbitkan, bahasa Cihie ini disebut sebagai bahasa Sahiyai. Sedangkan istilah Cihie merupakan nama mereka yang mereka nyatakan untuk diri mereka sendiri.
Kata Sihiyai itu adalah nama pemberian orang lain terhadap diri mereka, terutama sekali disesuaikan dengan lidah orang Melayu yang mungkin sebagai informan bagi orang untuk mengenal suku ini atau mungkin juga disebabkan cara lidah orang luar di dalam menyebutkan kata Cihie itu.

Dibandingkan dengan bahasa Dohoi Uud Danum, maka bahasa Cihie Uud Danu mini gayanya lebih lembut dan temponya agak lambat. Sedangkan pada Dohoi Uud Danum, cara bicaranya pada umumnya sangat cepat.

Meski agak beda dalam tempo dan kosakata tertentu, namun penutur bahasa Dohoi dan Cihie bisa langsung berkomunikasi dengan bahasanya masing-masing tanpa perlu mengalami kesulitan. Hal ini dikarenakan kosakata kedua bahasa ini banyak sekali persamaannya.

Orang Cihie Uud Danum berjumlah sekitar 4.643 jiwa (data diolah berdasarkan sumber data dari statistik kecamatan dan data desa tahun 1998).

Dari penduduk sebanyak ini dalam kehidupan sehari-harinya mereka memakai bahasa Cihie untuk berkomunikasi.

Penutur bahasa Cihie ini semuanya berada di dalam Sungai Serawai dan hanya para perantau, para pegawai, dan anak sekolahannya saja yang berada di luar daerah mereka seperti berada di Nanga Pinoh, Sintang, dan sebagainya.

Orang Cihie bermukim di dalam Sungai Serawai beserta anak-anak sungainya seperti Sungai Tokungoi (Tekungai). Untuk mencapai daerah pemukiman orang Cihie ini, jalan satu-satunya hanyalah melalui sungai, yaitu dengan melayari Sungai Soravai kea rah pedalamannya, dengan jarak dari Nanga Serawai sebagai Ibukota kecamatan ke kampong yang pertama adalah 10 kilometer dan kampong yang terakhir sekitar 75 kilometer. Jarak sejauh ini jika ditempuh dengan motor klotok akan memakan waktu satu hari lebih atau dua hari perjalanan.

Orang Cihie tersebar di dalam tiga desa penyatuan, yaitu Sogulang (Nanga Segulang), Baras Navun (Baras Nabun), dan Jolundung (Jelundung).

Seperti orang Dohoi Uud Danum, orang Cihie juga percaya jika mereka berasal dari langit dan turun ke Bumu setelah Zaman Kolimoi. Hanya saja ceritnya orang-orang Uud Danu mini adalah orang-orang yang kurang baik, yaitu orang-orang yang mau bermusuhan, kurang jujur, dan berbagai sifat tidak terpuji lainnya.
Orang Uud Danum di langit yang baik kurang menyukai orang Uud Danum yang kurang baik selalu turun naik ke langit, sehingga bisa saja mengotori kehidupan di langit yang sudah baik.

Itulah konon sebabnya di suatu masa jarak antara langit dan bumi dijauhkan sehingga orang Uud Danum tidak bisa lagi naik ke langit. Meskipun sebenarnya tidaklah benar-benar dijauhkan, karena masih ada satu-satunya jalan untukturun naik ke langit yaitu dengan melalui Bumbung Mokorajak (puncak Bukit Raya).

Tradisi lisannya sama dengan tradisi lisan orang Dohoi, baik dalam sastra maupun dalam hal pengobatan. Di dalam bahasa sastra, orang Cihie mengenal kandan tahtum, parung, dan kendau. Dalam pengobatan mereka mengenal nyandah, hobolian, dan nyakai. Bahasa yang digunakan di dalam timang (sewaktu nyakai) ada bahasa kendan ataupun bahasa tahtum atau dalam bahasa Uud Danumnya (Dohoi, Cihie, dan lain-lain) di sebut locut. Lengkapnya di sebut locut kandan, locut tahtum, atau locut parung.

DOHOI

Orang Dayak Dohoi merupakan kelompok mayoritas di Kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang.  
Alkisah pada zaman perang subsuku Dayak dahulu kala, orang Dohoi terkenal logas, tophus hohot, dan nyolung osak dahak ah. Logas berarti ‘mudah naik darah’, tohpas lohot berarti ‘tidak ragu-ragu kalau mengambil keputusan untuk membunuh’, dan nyolung osak dahak ah ‘orang yang tidak mengenal rasa takut sedikitpun’. Memang pada saat itu mereka ini sangat keras. Mereka punya prinsip, sekali ahpang yaitu ‘mandau terhunus’, maka pantang disarungkan sebelum minum darah manusia. Karena wataknya itulah maka oleh orang Dayak lainnya yang berada di sekitar daerah itu, mereka dinamakan Dohoi, untuk menyatakan bahwa ‘mereka ini adalah orang yang logas, tohpas lohot, dan nyolung osak dahak ah’.

Banyak sekali cerita yang berkembang tentang asal usul orang Uud Danum pada umumnya dan Dohoi pada khususnya. Legenda yang sepertinya dipercayai oleh orang Uud Danum, adalah bahwa mereka berasal dari langit. Tempat itu dari Danum Konolimoi yang terletak di langit lapis pertama, langit lapis kedua, langit lapis ketiga, langit lapis keempat, langit lapis kelima, langit lapis keenam, dan langit lapis ketujuh.

Proses kejadian dunia ini sampai kepada adanya orang Uud Danum di bumi adalah sebagai berikut. Pada mulanya, alam semesta ini adalah kosong dan yang ada hanyalah kegelapan. Lalu pada suatu masa, muncullah sekelompok havun (kabut) raksasa di ala mini, yang disebut dengan Juri’ Danum Sangen Juoi Booi Konolimoi, yang artinya ‘havun itu terbang ke sana ke mari’.

Kemudian setelah beberapa waktu, dari dalam havun ini terbentuklah Hitan Pihtuk Kungan yang artinya ‘tujuh buah bongkah intan’ yang ukurannya sama. Pada suatu saat, ke tujuh bongkah Hitan Pihtuk Kungan itu lalu meledak masing-masing menjelma mengisi alam semesta ini.

Bongkahan yang pertama meledak dan mengisi alam ini. Tidak ada penjelasan menjadi apa ledakan awal dari bongkah intan yang pertama ini. Diduga itulah yang menjadi Tanak Danum atau ‘bumi’, Mahtan Ondou ‘matahari’, Potion ‘bintang’, dan lain sebagainya. Lalu sisa bongkah yang pertama itu meledak lagi dan kemudian menjadi Lunuk Ilai Pohatalak Lunuk Lupung Pulus Bulou Ngahpih Sambang Bahen Andou Ngambou Tukang Langit Diang, yaitu ‘sebuah pohon beringin raksasa yang tumbuh di muka pintu langit’ (pintu masuk ke langit lapis pertama).

Bongkahan yang kedua meledak dan menjadi Lunuk Kosanak Ngambou Tumbang Danum Solatus yaitu ‘sebuah pohon beringin raksasa yang tumbuh dan menaungi di muara seratus sungai’.

Bongkahan yang ketiga meledak dan menjadi Muvuh Inai Songumang, Muvuh Inai Songalang, dan Muvuh Inai Komandai. Mereka ini, terutama Inai Songumang, menjadi orang yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Mereka mampu menciptakan segala sesuatu, kerena mereka memiliki Kuhtuh Bulou Taoi yaitu sebongkah emas yang member kuasa kepada mereka untuk menciptakan sesuatu hanya dengan berkata saja.

Bongkahan yang keempat meledak menjadi Muvuh Buhkui Lehkan Pulun Puluk Muvuh Kuvung Bahen Duhung, yang menjadi cikal bakal manusia kolimoi, yaitu Muvuh Inai Tingang dan Muvuh Inai Oling. Mereka juga merupakan orang-orang yang sakti, tapi tingkatannya masih satu tingkat dibawah manusia kolimoi yang merupakan hasil ledakan Hitan Pihtu’ Kungan yang ketiga.

Bongkahan yang kelima meledak menjadi Luung, raja para mahluk gaib yang jahat dan dia berdiam di lautan. Itulah sebabnya konon ceritanya segala jenis penyakit itu lebih banyak berasal dari lautan.

Bongkahan yang keenam meledak ke Pindak Danum, yaitu di dalam perut bumi yang menjadi manusia di dalam perut bumi, yaitu Muvuh Inai Pongeran Lihtih Mukan Tavak Asan Jok Torusan Toluk Langan Mocon Tolingan Cahai Hitan, yang pada akhirnya menurun pada Tambun yang merupakan salah satu ksatria besar di Zaman Tahtum. Tambun ini adalah saudara sepupu Bungai, yang juga merupakan salah satu ksatria besar di Zaman Tahtum. Keduanya ini merupakan pasangan yang sangat luar biasa dan memang terkalahkan oleh siapa pun, apalagi keduanya selalu membela kebenaran.

Sedangkan bongkahan yang ketujuh meledak dan menjadi Atang Hojola’ Bulou. Lalu Atang Hojola’ Bulou memperanakkan Pilang Puhtung Nakui Langit, Pilang Puhtung Nakui Langit memperanakkan Sobila’ Nakui Kolatung. Sobila Nakui Kolatung memperanakkan Atang Taoi, Atang Taoi memperanakkan Sohavung.

Secara bersamaan juga, bongkahan yang ketujuh atau yang terakhir ini menjadi cikal bakal orang Uud Danum di Pinda’ Ondou atau Bumi.

Banyak sekali terdapat tradisi lisan yang masih hidup. Secara umum dapat digolongkan menjadi tiga bagian besar, yaitu Kolimoi, Tahtum, dan Kesah. Yang pertama adalah Kolomoi, yaitu tradisi yang menceritakan tentang kisah kasih manusia Uud Danum di langit. Tokoh-tokoh utamanya adalah Oling, Songalang, Sohavung, Songumang, Uhko’, Komandai, Timbang, dan Jambang untuk yang laki-laki, serta Pongota’. Bura’, Uhit Miou, Tipung, dan Selung untuk yang wanita. Zaman Kolimoi merupakan zaman yang kedua dalam tradisi lisan dan sejarah kehidupannya. Tradisi lisan di sini bisa sampai ratusan jumlahnya.
Tahtum merupakan epos atau cerita kepahlawanan seperti halnya Mahabarata atau Ramayana dalam budaya India. Tokoh-tokoh utama dalam cerita ini adalah Tambun, Bungai, Sangen, Bitih, dan Shepung untuk yang laki-laki, serta Karing, Bulou, dan Tobala’ untuk yang wanita.

Dari salah satu episode cerita tahtum dikatakan bahwa salah seorang putera raja dari Kerajaan Majapahit ada yang melamar puteri Uud Danum. Tradisi lisan yang ada di Zaman Tahtum ini berjumlah ratusan.

Zaman Tahtum merupakan zaman yang ketiga di dalam tradisi lisan Uud Danum, yaitu berada setelah Zaman Kolimoi sampai dengan sekitar Zaman Majapahit. Zaman Tahtum berawal setelah Zaman Kelimoi dan berakhir pada sekitar era Kerajaan Majapahit.

Ada kasus yang menarik di dalam Kolimoi dan Tahtum ini, yaitu ceritanya sangat banyak dan bisa mencapai ratusan tetapi lucunya tokohnya selalu sama.

Zaman yang ketiga adalah Zaman Kesah yang merupakan zaman keempat dalam sejarah Uud Danum. Zaman ini berada setelah selesai Zaman Tahtum sampai dengan penjajahan Belanda dan Jepang. Pada zaman Kesah ini, tradisi lisan yang ada bisa mencapai ribuan jumlahnya.

Menurut para tetuanya, hal ini dikarenakan bahwa pada waktu itu para tokoh ini memang pernah ada. Mereka adalah tokoh seperti di dalam cerita itu. Agar keberadaan dan kepahlawanan mereka tetap bisa dikenang oleh para anak cucu dan keturunannya maka mereka lalu meminta orang lain yang pandai sastra untuk menceritakan tentang diri mereka. Para pandai sastra pun lalu menceritakannya sesuai dengan versinya masing-masing. Dengan demikian, terciptalah sedemikian banyak kisah tentang mereka tetapi tokohnya sama. Khusus untuk Tahtum, bekas-bekas peninggalannya masih ada yang tersisa sampai sekarang dan masih bisa kita lihat. Yang sangat disayangkan adalah peninggalan-peninggalan itu sudah banyak yang digusur oleh traktor-traktor perusahaan HPH.

Zaman Kesah merupakan zaman termuda yang diperkirakan bermula semenjak akhir Zaman Tahtum sampai pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Yang menjadi ciri dari zaman ini adlaah cerita-cerita tentang terjadinya sesuatu kejadian seperti Batu Dara Muning, rumah batu di Puruk Liang Kokam, dan lain sebagainya.

Cerita yang sangat terkenal pada zaman Kesah ini adalah cerita tentang Dalung Mavan dan cerita tentang  Kunum-Nyahu’ yang berbau epos. Dalung Mavan adalah manusia raksasa. Kalau dia berdiri di tengah Sungai Melawi, air sungai itu hanya sampai di mata kakinya saja. Sedangkan Kunum-Nyahu’ adalah dua bersaudara yang menyelamatkan orang Uud Danum dari serbuan suku-suku lain. Kedua bersaudara ini sangat sakti dan mereka memang diturunkan dari langit melalui rahim seorang wanita untuk menyelamatkan orang Uud Danum yang sudah kewalahan menghadapi serbuan dari suku-suku lainnya pada masa itu.

Konon ceritanya mereka berdua pernah membasmi gerombolan Asang Kanyou (gerombolan pencari kepala) yang bermukim di sebuah terowongan dalam tanah di bawah sebuah gunung. Jumlah mereka mencapai ribuan orang. Kedua orang bersaudara ini menghabisi gerombolan ini hanya berdua saja. Kunum menerobos masuk ke dalam terowongan dan Nyahu’ menunggu di mulut terowongan, sehingga tidak ada satu orang pun dari gerombolan itu yang selamat. Tempat itu mengeluarkan bau busuk sampai hamper enam bulan.

Pada zaman Kesah ini juga diceritakan bagaimana Sohavung sering turun ke Bumi. Caranya turun adalah dengan memakai Polaka’ Bulou. Tercatat ada tujuh kali Sohavung ini turun ke bumi dan dalam waktu yang hamper bersamaan. Ia mempunyai kemampuan untuk membagi dirinya dan hadir di beberapa tempat berlainan secara bersamaan. Ketika berada di Bumi, ia menikahi orang-orang di Bumi ini. Uniknya orang yang dinikahinya bukan hanya orang Uud Danum saja tetapi juga orang-orang dari subsuku lain tempat dia diturunkan.

Tujuannya turun ke bumi adalah untuk menghentikan permusuhan antara sesama Anak Danum Kolunon atau sesama umat manusia yang pada waktu itu saling mengayau. Dia juga menetapkan hokum adat bagi sekelompok orang yang ditemuinya.

Polaka’ Bulou ini adalah sebuah wadah berbentuk persegi emat dan terbuat dari emas murni. Wadah ini diberi tali yang juga terbuat dari emas dan diulurkan ke Bumi. Konon katanya waktu itu jarak bumi dan langit tidak terlalu jauh. Setelah berkembang di bumi, orang Uud Danum masih bisa naik ke langit. Namun, pada suatu ketika, orang langit menjauhkan diri mereka dari bumi karena takut pengaruh buruk yang ada di bumi ini berjangkit ke langit.

Ketika sudah berada di bumi, orang Uud Danum memang pertama kali berkembang biak di Kalimantan Barat, tepatnya di daerah aliran Sungai Momaluh (Ambalau) lalu kemudian menyebar ke bagian lain pulau besar Kalimantan ini. Cerita ini terdapat dalam cerita awal legenda Tahtum, trutama sekali ke arah Kalimantan Tengah dengan membawa budaya, bahasa, dan bahkan nama-nama asal mereka.

Nama-nama tempat dan sungai di Kalimantan Barat mereka pindahkan ke tempat baru itu. Caranya, mereka membawa segenggam tanah dan ditaburkan pada tempat yang mereka anggap cocok. Kemudian, tempat itu dinamakan sesuai dengan tempat tanah itu diambil. Sedangkan untuk sungai, mereka membawa airnya di dalam tabung bambu dan setelah sampai di tempat baru, maka air tadi ditumpahkan. Lalu mereka memberi nama tempat itu dengan nama sungai di daerah aslinya tadi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di daerah Kalimantan Tengah banyak sekali tempat yang namanya sama dengan daerah atau sungai di Kalimantan Barat, khususnya daerah kecamatan Ambalau. Misalnya Olung Kolon, Pojange, dan Nohkan Acon.

Selain cerita dan legenda, juga terdapat berbagai tradisi lainnya seperti pengobatan tradisional yang terdiri dari nyandah, hobolian, dan nyakai. Sandah adalah ritus pengobatan yang sederhana terhadap penyakit yang tidak terlalu serius. Di tingkatan Nyandah ini, cukup digunakan telur ayam dan darah ayam tanpa harus membunuh ayam. Paling banter, sesajinya berupa seekor ayam kecil.

Hobolian, adalah tingkat pengobatan medium dan sasarannya adalah untuk penyakit yang cukup serius. Di sini harus membunuh ayam, sebab kalau tidak maka sangiang, yaitu ‘roh yang membantu pengobatan’ tidak mau datang.

Nyakai, adalah tingkat pengobatan terakhir untuk menyembuhkan penyakit yang betul-betul sudah parah. Di dalam ritus Nyakai ini, sudah diwajibkan untuk membunuh babi. Kalau tidak membunuh babi maka segala sangiang tadi tidak mau datang dan penyakit parah tidak bisa disembuhkan. Perlu juga dicatat, bahwa pada tingkatan nyakai ini sangiang yang datang tidak dari bumi tetapi semuanya dari langit.

Selain ritus untuk mengobati orang sakit, nyakai juga bisa dimanfaatkan untuk mengeluarkan batu dari dalam kepala yang menyebabkan orang gila. Selain itu, bisa juga digunakan untuk menanam savang utung yaitu ‘pohon kehidupan yang ditanam di suatu tempat di langit dan lokasinya ini terserah kepada pemesan’.

Kesenian lainnya adalah parung dan kendau, Parung, adalah penggunaan bahasa secara bersanjak dengan susunan kata sedemikian rupa untuk berbicara sewaktu pesta, mengantarkan pengantin, dan lain sebagainya. Parung ini biasanya dimanfaatkan untuk saling memuji, meminta maaf, menyindir, menyesali, menjatuhkan, meminta melakukan sesuatu dan mengkritik, dan mengeluhkan keadaan tetapi dengan bahasa yang teratur, terangkai, dan dengan irama yang menyentuh. Dengan demikian yang menjadi sasaran tidak marah tetapi harus menjawabnya dengan parungi juga. Biasanya perang parung ini bisa berlangsung selama berhari-hari. Kendau, adalah penggunaan bahasa untuk menyindir atau untuk mengolok-olok seseorang atau kejadian. Kendau ini tidak terlalu panjang dan biasanya hanya terdiri dari beberapa baris kata, tetapi telinga orang yang menjadi sasaran bisa menjadi merah.

Orang Dohoi juga mempunyai tradisi navui, bohajat, dan nenung. Navui, adalah tradisi lisan untuk memanggil roh atau menyampaikan terima kasih dan pemberian trhadap roh dan atau manusia gaib tentang sesuatu seperti pesta atau meminta bantuan. Bohajat, adalah meminta bantuan serta bimbingan dari roh-roh dan atau manusia gaib baik yang ada di bumi maupun di langit yang mempunyai kemampuan supranatural. Nenung adalah meramal segala sesuatu. Seperti meramal tentang barang hilang atau tempat yang baik untuk mendirikan rumah.

Orang Dohoi Uud Danum bermukim di sepanjang Sungai Molahui (Melawi) yangterletak di Kecamatan Ambalau beserta anak-anak sungainya seperti Sungai Momaluh (Ambalau), Sungai Kolangan (Gilang), Sungai Jongonoi (Jengonoi) dan lain sebagainya serta di dalam Sungai Lekawai yang secara administratif masuk di dalam wilayah Kecamatan Serawai.

Kampung-kampung tempat tinggalnya ada di sebelah kiri Sungai Ambalau, di Kampung Deme, Posuk, Mentatak, Ukay, Menakon, Nanga Jengonoy ke hilir, orang Dohoi ada di Kampung Mensuang, Lebere, Kesange, Kepala Ruan atau Nanga Sangkay, Kemaung, Sungai Runuk, Jengkahang, dan di Nanga Ambalau. Ada juga orang Dohoi yang tinggal di Sungai Melahoi.  

Kecamatan Ambalau yang merupakan kecamatan terakhir di aliran sungai Melawi ini bisa dicapai dengan melalui jalur sungai, yaitu dengan melayari Sungai Melawi. Dari Nanga Pinoh ke Nanga Kemangai sebagai Ibukota Kecamatan Ambalau, berjarak sekitar 297 kilometer sungai (berdasarkan data PT. ASDP TK. II Sintang). Kalau di tempuh dengan speednoat body terbang 40 PK bisa dicapai dalam waktu enam jam perjalanan, tetapi kalau menggunakan motor kolotok akan menempuh waktu selama tiga hari.

Hal yang perlu dicatat juga adalah konon katanya bahasa Dohoi Uud Danum ini adalah bahasa orang-orang di langit. Hal inilah yang membuat bahasa ini sangat berbeda dari bahasa-bahasa lainnya. Demikian juga pilihan kosakatanya yang begitu banyak dan beragam.

Bahasa Dohoi Uud Danum adalah sebuah bahasa yang agak berbeda dari bahasa subsuku Dayak lainnya di luar komunitas mereka. Selain mempunyai tingkatan dalam penggunaan pilihan kosakatanya, bahasa ini juga mempunyai pilihan kosakata dalam bahasa sastranya. Hal ini bisa dilihat jelas dalam bahasa kandan tahtum, dan parung. Menurut para tetua, derajat tertunggi bahasa Dohoi Uud Danum adalah dalam bahasa kandan kemudian secara berturut-turut diikuti oleh bahasa tahtum, parung, kendau, dan bahasa sehari-hari.

Bahasa kandan dikatakan mempuyai derajat tertinggi, karena apabila orang mau mempelajari bahasa ini maka ia harus melakukan nasih, yaitu memberikan beberapa persyaratan adat kepada orang yang akan mengajarinya, berupa beberapa ketentuan untuk membayar ketentuan adat, membunuh ayam atau babi, memberikan besi sebagai penguat semangat, memberikan sirou sahkik (dalam wujud gelang batu semi mulia), dan sedikit pesta.

Sewaktu orang yang belajar bahasa ini sudah menamatkan pelajaran kandan­-nya, maka akan diadakan semacam pesta untuk merayakannya. Bahasa kandan ini dipergunakan untuk menceritakan legenda tertua yang disebut Kolimoi, untuk mengobati, untuk bercakap, untuk mohpas, dan apa saja sesuai kebtuhan masing-masing orang.

Namun selain itu, bahasa kandan biasa juga digunakan untuk bahasa pengobatan khusus dalam episode nimang pada ritus nyakai. Nyakai ini adalah ritus tertinggi di dalam upacara pengobatan. Ritus awal adalah nyandah, yang kedua adalah hobolian, dan yang terakhir dan tertinggi adalah nyakai tadi.

Sayangnya, sejak masuknya budaya pengobatan modern dan masuknya pengaruh agama Kristen (Katolik dan Protestan), orang Uud Danum sudah tidak terlalu memusingkan lagi acara pengobatan tradisional ini.
Orang Dohoi Uud Danun diperkirakan sekitar 14.511 jiwa (data diolah berdasarkan sumber data dari ststistik kecamatan dan data desa tahun 1998).

(sumber: Mozaik Dayak)       

0 komentar:

Posting Komentar